Friday, November 30, 2012
Thursday, November 29, 2012
Sunday, November 25, 2012
Sebuah Tanya ~ Soe Hok Gie
“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
Selasa, 1 April 1969
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
Selasa, 1 April 1969
Mandalawangi - Pangrango ~ Soe Hok Gie
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah
dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-7-1966
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah
dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-7-1966
Thursday, November 22, 2012
Sunday, November 18, 2012
Sunday, November 11, 2012
Senyum itu
kepada siapa yang mati dengan darah atau tanpa tangis dimatanya. aku berlari-lari kecil, mengendap-endap diserangkaian rumput yang kering di khayalku, mencari-cari sebuah senyum yang kau pernah ambil dulu. pada yang melewati malam tanpa sebuah jaket tebal, yang berpura-pura menahan dingin, yang menutupi mukanya dengan senyum itu.
akulah surya, yang kemudian menjadi tujuan sebuah mimpi. dengan genggam yang aku lakukan sendiri, tentu belum mampu menciptakannya. bawakan aku secangkir kopi, yang sama persis seperti waktu itu, waktu kau tidak pernah berfikir untuk menjauh dan tidak kembali.
dan pahamilah, setiap luka, aku yang mati. adalah tempat dimana mengasingkan diri dari sebuah amuk angin yang menerbangkan. dan ketahuilah,
penyebabnya adalah diri kita sendiri. mungkin aku, atau Tuhan yang mempertemukannya.
akulah surya, yang kemudian menjadi tujuan sebuah mimpi. dengan genggam yang aku lakukan sendiri, tentu belum mampu menciptakannya. bawakan aku secangkir kopi, yang sama persis seperti waktu itu, waktu kau tidak pernah berfikir untuk menjauh dan tidak kembali.
dan pahamilah, setiap luka, aku yang mati. adalah tempat dimana mengasingkan diri dari sebuah amuk angin yang menerbangkan. dan ketahuilah,
penyebabnya adalah diri kita sendiri. mungkin aku, atau Tuhan yang mempertemukannya.
Thursday, November 1, 2012
Aku
Aku adalah kamu, tapi kau selalu menyangkalnya.
Sekuat aku meyakinkannya, sekuat pula kau mencoba lari.
Aku adalah waktu, buka saja buku lamamu. Aku ada di setiap judul, yang selalu kau ceritakan sebelum memejam
Aku adalah kedua-mu,
Langkahkan saja kakimu, jika jatuh mungkin aku sedang menangis. Kapan aku siap menjadi penopang, jika kamu selalu saja membuat kebencian dari apa yang kau lihat.
Aku adalah masa lalu,
yang sengaja kau tinggalkan dengan sejuta alasan.
Aku tau sebelum kau bertanya kenapa~kebosanan
Sekuat aku meyakinkannya, sekuat pula kau mencoba lari.
Aku adalah waktu, buka saja buku lamamu. Aku ada di setiap judul, yang selalu kau ceritakan sebelum memejam
Aku adalah kedua-mu,
Langkahkan saja kakimu, jika jatuh mungkin aku sedang menangis. Kapan aku siap menjadi penopang, jika kamu selalu saja membuat kebencian dari apa yang kau lihat.
Aku adalah masa lalu,
yang sengaja kau tinggalkan dengan sejuta alasan.
Aku tau sebelum kau bertanya kenapa~kebosanan
Biografi
M.L.A. Mistam Lahir Duapuluh sekian tahun yang lalu. Belajar menulis puisi dan cerita pendek dari tahun 2010. Saat ini sedang menggemari membaca cerita dan menonton DVD. Buku-bukunya yang telah terbit “Yang Kucintai Selain Puisi (2013)”, “Aku Selalu Bisa Pulang (2014)”, “Apabila Denganmu (2015)", “Lelaki Pejuang Kuota (2016)", “Karena Di Dalam Lubuk Hatiku (2017)". Beberapa puisi dan cerpennya pernah diikutkan dalam beberapa buku “Sepasang Sayap yang Menerbangkan Ingatan (2012)”, “Antologi @puisi__cinta (2013)”, “Laut (2013)”, “Kepak Sayap-sayap (2014)” Sampai saat ini masih aktif membaca dan menulis bersama komunitas Banyuasin. Di blognya mohamadlatif.com ia masih suka menularkan rasa keegoisannya. Saat ini sedang sibuk mengerjakan sebuah buku terbarunya.