“GERBANG PENDAKIAN GUNUNG
SLAMET. POS BAMBANGAN. KABUPATEN PURBALINGGA” Terlihat seperti sebuah pintu
masuk gerbang Desa, dengan tulisan beronamen besi-besi yang disatukan dan
diberi tulisan besar berbentuk setengah lingkaran. Seperti gerbang Desa pada
umumnya, Bisa dibayangkan seperti pintu masuk kondangan-kondangan pernikahan di
gedung. Namun bedanya ini di Desa. Atau bisa dibayangkan juga seperti
pintu-pintu dan jendela masjid yang bagian atasnya membentuk setengah lingkaran.
Ya sama persis.
Bambangan, begitulah nama
desa tersebut. sebuah Desa terakhir di kaki Gunung Slamet di daerah Purbalingga.
Tepatnya di pintu masuk utama pendakian Gunung Slamet via Bambangan. Bambangan
adalah jalur tercepat untuk menuju puncak Slamet diantara jalur Dipajaya di Kabupaten
Pemalang, jalur Guci di Kabupaten Tegal, atau jalur Baturraden di Kabupaten Banyumas.
Di Desa yang berketinggian 1279 mdpl ini kuperiksa kembali perlengkapan dan
mengurus segala administrasi pendakian.
Ini kali pertamaku mendaki gunung
melewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra, bersama teman bertualang.
Lah kenapa jadi nyanyi begini? Setelah membaca tulisan itu, detak jantungku
entah kenapa menjadi lebih cepat dari biasanya. Dan tiba-tiba Aku melamun
memikirkan seseorang yang disana. Membayangkannya tertawa sembari tersenyum
menatapku. Dan ah, cinta memang selalu membuat orang lupa diri dan dianggap
gila.
“Gimana mblo? Siap? Andi menepuk bahuku
tiba-tiba, saat Aku sedang melamun menatap tulisan di gerbang itu.
“Anjrit. Apaan sih, emang Aku ini kamu? yang suka nangis kalo beli bakso tapi ga ada yang beliin?”
“Eh eh, kenapa malah
nyangkut kesitu...”
“Lagian aku lagi ngelamun,
dan lagi deg-degan gini malah dikagetin ngomong nggak jelas”
“Hahhaaa iya deh, udah siap
kan metik edelweis buat Mawar?”
“Ok siap”
“Ayok berangkat!!! Lets go Bro!!!”
“Kamu di depan ya, Aku lupa
nggak bawa speedometer si”
“Tunggu, aku mau kencing
dulu...” Kata Yuza
Ini memang perjalanan
perdanaku mendaki gunung. Dan langsung mendaki gunung tertinggi di Jawa Tengah,
atau gunung tertinggi kedua di Jawa. Ya, Gunung Slamet (3.428 meter dpl.) Tapi
tidak dengan kedua sahabatku, Andi dan Yuza, mereka mungkin nampak biasa dengan
perjalanan kali ini. Bagaimana tidak dari kelas satu SMA dulu, mereka sudah
mengikuti ekstrakulikuler pecinta alam. Maka dari itu, mendaki gunung sudah
seperti kegiatan rutin wisatanya. Apalagi dengan Gunung Slamet, Gunung yang
paling dekat dengan kampus dan kota kami. Hingga akhirnya mereka aku paksa,
untuk mengantarkanku pergi ke puncak slamet dan menyempatkan untuk memetik
edelweis untuk Mawar.
***
Sebut saja Mawar, bukan nama
samaran karena dia adalah seorang korban pelecehan seksual atau tersangka
pencurian baju yang tertangkap CCTV. Tapi namanya memang Mawar. Ia selalu saja
(namanya) menjadi bahan tertawaan kami di kampus. Apalagi saat ada mata kuliah
pendidikan kewarganegaraan, yang disana sedang membahas kriminalitas. Haha..
Ia seorang perempuan manis,
berkacamata, pemakai setia kerudung segi empat, penyuka rok panjang, dan
seorang perempuan yang tidak suka makan mie ayam di toko bangunan. Teman-teman
menganggapnya perempuan yang cupu, nggak ngerti gaya. dengan kacamata kotak yang berbingkai
warna hitam setebal kasur tidurnya, dan sepatu convers yang katanya tidak
pernah ia cuci semenjak ia membelinya. Ditambah dengan roknya yang selalu lebih
panjang dari tumitnya, juga jaket sweater
ukuran XL. Ya, teman-teman menganggapnya begitu. Tapi tidak denganku, ia
spesial. Mungkin benar ia biasa, namun dengan biasanya dia, Aku selalu anggap
spesial. Jarang ada perempuan lain seperti dia, yang mampu hidup di jaman sekarang ini yang
lebih mementingkan bagaimana orang lain melihat kita, dari apa yang kita pakai.
Karena definisi cantik bagiku adalah bukan apa yang kita pakai, tapi apa yang
kita syukuri.
Badannya ideal dengan
tinggi persis setara dengan telingaku. Ia seorang yang pendiam, namun cerewet. Kata beberapa teman kampus, Aku dan Mawar
itu pacaran. Tapi sebenarnya bukan pacar, karena diantara kami belum ada yang
ngungkapin perasaannya. Teman-teman aja yang bilang kami pacaran. Mungkin
karena kedekatan kami, hingga mereka tidak bisa membedakan, mana yang pacaran,
mana yang tidak pacaran atau cuma sahabatan. Awalnya kami cuma teman
biasa, teman 1 kelompok masa ospek tadinya. Namun entah kenapa setelah dia putus sama pacarnya, tiba-tiba dia
mencariku dan menjadi alat untuk penampung ceritanya yang suram itu. Aku juga
tidak tahu kenapa dia tiba-tiba mencari dan memilihku sebagai tempat cucuran tangisnya itu.
Padahal di kampus-pun aku termasuk anak yang pendiam, tidak terlalu mempunyai banyak teman, justru terlihat cuek. Berangkat kuliah, ngopi sebat di kantin, masuk, pulang, ngopi sebat di kantin, repeat. Aku pernah
sesekali menanyakan tentang mengapa ia lebih memilihku untuk jadi teman curhatnya langsung pada Mawar, ya tentu setelah aku sama
dia sudah dekat lumayan lama. Aneh aja gitu, padahal ketika ospek kami selalu saja bertengkar tentang bumi bulat atau datar.
“Maw, mawar...”
“Ia apa Ram, Rampok”
Yah mungkin ini hal biasa
sebagai seorang sahabat yang sudah dekat bahkan sangat dekat. Memanggil dengan
sejidatnya sendiri. Tapi kami nyaman dengan panggilan yang kami ciptakan. Rasanya seperti sebuah panggilan sayang khusus. Aku memanggilnya Maw, dia
memanggilku Pok. Tapi jika dipikir masih mending panggilan dia daripada aku, masih
nyangkut namanya. Sedangkan dia, nama yang bagus Rama malah di plesetin jadi Rampok.
“Kenapa pas kamu putus
dulu, kamu tiba-tiba dateng ke aku?”
“Gatau...”
“Udah gitu ajah?”
“Iya, udah gitu ajah?”
“Yaudah”
“Yaudah juga”
Begitulah. Terkadang kami hanya bisa saling menanyakan. Tanpa ada jawaban yang pasti. Karena
jawaban-jawaban terkadang sulit untuk dikatakan diantara kami masing-masing, terkadang justru canda tawa kami adalah jawaban yang tanpa butuh pertanyaan manapun.
Mawar termasuk orang yang cuek dengan siapapun. Tapi perhatian dia sangat besar
dan begitu hebat kepada teman-temannya. Dia begitu peduli dengan seseorang yang
mengganggap dia adalah temannya. Semoga dia menjadi perempuan yang kuat. Aamiin.
Karena pada dasarnya Mawar
ialah perempuan yang lemah, bahkan sangat lemah. Dia selalu mudah untuk
menangis daripada harus cerita atau meluapkannya dengan sesuatu. Terkadang saat
aku bersamanya, aku selalu membawa kantong kresek yang aku selipkan di saku jaket.
***
Entah mengapa tiba-tiba saja Mawar menginginkan edelweis. Aku tidak tau kenapa tiba-tiba dia meminta hal yang
seperti itu. Mungkin dia sedang membaca buku kesukaannya di perpustakaan
tentang bunga-bunga. Mawar memang sangat suka sekali bunga. Tengok saja ke
kamarnya, dinding yang penuh dengan wallpapers bunga. Atau ornamen tempat
tidur seperti sprei, bantal, guling semua berbau bunga. Atau bahkan PC dan LCD
monitornya yang penuh bunga-bunga. Dia pun pernah berbicara padaku,
“Pok, kamu tau nggak bunga
yang aku sukai”
“Gatau... Emang apa?”
“Bunga bank”
“Udah?”
“Udah...”
“Yaudah”
Mawar adalah pembaca akut, dia senang membaca—dimanapun. Apalagi
di kampus, ia selalu menyempatkan diri ke perpustakaan untuk sekedar menjenguk
atau mengelilingi ruangan perpustakaan kampus. Namun tidak lupa untuk
menyempatkan diri memilih buku dan mencari kursi kosong lalu membacanya. Walau
cuma sebentar.
Mungkin bagi dia buku ialah
nafas. “Aku tidak bisa hidup tanpa buku” katanya. Mungkin dia mengganggap buku
seperti Aku yang mengganggap kopi. Ya, kami sudah memiliki jodoh masing-masing.
Jodoh paling setia bersama benda-benda tak bernyawa ini contohnya. Dia suka
buku, aku suka kopi. Tapi ini bukan tentang buku atau kopi kesukaan kami
masing-masing. Ini tentang Mawar, ya tentang edelweis. Bunga yang sedang ia inginkan.
Dan tentang keinginannya mengenai edelweis itu yang masih belum bisa aku terima
secara sukarela.
Bermula dari jam pulang
sekolah kami. Tidak, maksudku pulang kuliah kami. Seperti biasa, Mawar selalu
menyempatkan diri berkunjung ke perpustakaan, sedang aku menyempatkan diri
menemui ibu kantin, tidak lain tidak bukan, memintanya membuatkanku secangkir
kopi. Mawar selalu bisa membaca buku apa saja. Aku selalu saja bisa meminum
kopi apa saja. Entah siapa yang menghubung-hubungkannya. Tapi kami memang begitu;
sama-sama menyukai tentang hal-hal yang masih berhubungan dengan hal yang kami
sukai.
Dengan kopi yang masih
panas, seperti biasa aku nyalakan rokok keteng alias rokok eceran. “Satu batang
dulu, ah” sambil menunggu Andi dan Yuza keluar dari kelasnya. Kata mereka, ada dosen baru yang montok tapi cantik. Bentar, montok tapi cantik? Kok agak janggal ya.
Rokok di tangan kiriku sudah mau habis, Rokok yang kusisipkan di atas telinga kanan dan kiri juga sudah tersulut api, tinggal kopi yang kusisakan ampasnya menunggu kedatangan mereka berdua. Andi dan Yuza datang mengagetkanku dari belakang. Dengan membawa secangkir kopi yang
sudah dipesannya pada ibu kantin di tangan mereka masing-masing.
“Woy,
ngalamun aja” kata Andi.
"Nih kopi, sana pesen sendiri!" tambah Yuza.
Kami saling memanggil Mblo bukan karena kami bertiga jomblo, tapi karena kami bertiga memang belum punya pasangan.
Lima menit, sepuluh menit
dan beberapa menit kemudian. Kami bertiga masih membakar rokok untuk
episode-episode selanjutnya dan menghabiskan cangkir kopi kami masing-masing.
"Bu, ini cangkirnya bocor ya? Kok kopinya udah nggak ada?" ledek Yuza kepada Ibu kantin.
"Oia yah, yasudah Ibu bikinkan lagi yah, buat disiram ke muka kalian!"
Hingga tiba-tiba Mawar datang. Menepuk pundakku dari belakang.
Aku juga tidak tau, kenapa dengan kata ‘tiba-tiba dan Mawar’? Mereka selalu
saja tidak dapat dipisahkan.
“Pok, bisa ngomong
sebentar?” Mawar membawaku ke sudut lain kantin. Mawar memang tidak terlalu
dekat dengan Andi dan Yuza, karena mereka berdua sedang merokok. Aku tau Mawar tidak suka cowok perokok, Aku juga tidak suka dengan cowok perokok. Walau Mawar tau aku juga perokok, tapi setidaknya Aku nggak pernah ngeledekin Ibu kantin.
Mawar
menganggapku sebagai satu-satunya teman dekatnya di kampus. Karena tidak ada
orang lain yang menganggap mawar seperti Aku, katanya. Akupun, Mawar sudah aku
anggap sebagai sahabat. Seperti Andi dan Yuda. Cuma beda kapasitas dalam
masalah gender. Kami saling terbuka, namun tidak semua hal kami saling buka.
Karena kita sama-sama tau komposisi apa saja yang memang pantas kami ceritakan
atau kami simpan sendiri.
“Iya ada apa Maw? Ada yang
penting?”
“Untuk masalah penting atau
nggak pentingnya. Kamu yang nentuin”
“Ia apa Maw?”
“Aku pengen edelweis Pok...”
***
“Ok sudah siap semua Mblo... Cek-cek perlengkapan semua. Handphone kalo bisa ditinggal atau
dititipin ke penjaga pos. Atau kalau memaksa untuk dibawa. Dimatiin aja. Karena
sehabis melewati desa ini sinyal sudah tidak ada” Andi memerintahkan. Dia
pemandu jalan dalam pendakian ini
“Mblo, nggak pengen pamitan
dulu sama Mawar?” Rayu Yuza kepadaku.
“Nggak ah, lagian ini
kejutan”
“Ya paling nggak kan minta
doanya biar selamet. Telpon gih, mumpung masih ada sinyal disini. Ntar kalo ada
apa-apa di jalan, dan kamu belum sempet pamitan sama Mawar gimana”
“Astagfirullah jelek amat
doanya, tapi bener juga ya...”
Rama menunda keberangkatan.
Dengan kembali membongkar tas carriernya itu. Karena handphone yang dibawanya
disimpan di tengah-tengah. Bermaksud untuk melindunginya dari udara Gunung Slamet yang
semakin tinggi, semakin dingin.
Tuuuut...tuuuut...tuuuut...
“Assalamualaikum”
“Wangalaikumsalam”
“Ia pok, ada apa”
“Aku minta doanya ya? Biar
selamat sampai puncak”
“Puncak?”
“Astagfirullah,
keceplosan... Maaf Maw” polos Rama
“Kamu emang lagi dimana?
Suara kamu kok putus-putus? Jauh lagi...”
“Aku lagi di Bambangan,
sebentar lagi mau berangkat mendaki ke puncak. Mau metik edelweis buat kamu Maw. Walau
aku tau itu dilarang bagi para pecinta alam. Doain aku samp...”
Tiba-tiba percakapan
telepon mereka mulai terputus. Mawar hanya mendengar penjelasan dari Rama, tapi Rama belum mendengar penjelasan dari Mawar
“Anjrit, udah keceplosan
mau naik gunung. Eh ini handphone juga keceplosan baterainya abis. Semoga aja
mawar nyertain aku dalam doanya ya mblo” Andi dan Yuza hanya mengangguk
mengiyakan. “Yaudah ayok berangkat... Semoga perjalanan kita selamat sampai
tujuan. Nggak ada halangan apapun. Dan pulang dengan selamat, sehat wal afiat”.
“aamiin” mereka seraya saling mengaamiin-i
“Astagfirullah pok. Aku nggak pernah minta kamu untuk pergi ke gunung dan
metikin bunga edelweis cuma buat Aku. Kamu belum ngerti. Waktu itu aku memang
membaca buku tentang bunga edelweis. Tapi aku tidak ingin kamu petikin untuk Aku. Aku hanya ingin kamu menjadi edelweis di hidup Aku. Bodoh dan malunya aku
aja yang bingung gimana cara ngungkapinnya ke kamu. Aku terlalu gengsi untuk
ngungkapin yang sebenarnya. Mungkin karena aku seorang wanita” Mawar hanya
menangis. Mengajak berbicara dirinya sendiri di depan cermin. Telepon genggamnya
tak berdering lagi—bahkan sampai satu hari berikutnya. Setelah berita di
televisi memberitakan tentang 3 orang pendaki yang hilang.