Sunday, January 19, 2014

Ketika Pagi Begini

     
picture is taken from here

    Ketika pagi begini. Saya ingin mengucapkan sebuah terimakasih kepada telinga kanan kau. Membisikannya penuh lembut kepada kau. Yang dimana saat itu kita sedang menatap langit-langit kamar yang laut, yang selalu saja membuat kita tenggelam sesaat sebelum kita sama-sama tertidur.

tidak. biasanya saya yang terlebih dahulu tertidur, Kau selalu mengusapkan tangan kau dengan lembut ke tangan saya. Mengisi ruas-ruas jemari saya yang dingin, dengan penuh kehangatan. Mungkin kau terlalu paham bagaimana udara tadi siang begitu berisik, dan bagaimana sepasang tangan saya yang tak lelahnya memberi kabar kepada kau lewat berjuta-juta pesan singkat. Saya selalu menyuruh kau untuk tidur terlebih dahulu, dengan ciuman saya di kening kau. Kau itu sungguh sangat terlalu manis, saya selalu membayangkan senyuman kau, kapanpun, dimanapun (apalagi jika saat seperti ini). Senyuman kau itu yang selalu saya anggap paling menghipnotis diri saya selamanya. Kemudian kau memejamkan mata sebentar. Setelah itu kita saling menangkap mata kita yang tiba-tiba basah air mata.

Ketika pagi begini. Kau selalu merengkuh tubuh saya dengan sangat eratnya. Saya tau, kau terlalu lemah untuk sebuah dingin (saya-pun juga). Dan saya balas rengkuhan itu dengan melingkarkan tangan saya ke pinggang kau. Padahal selimut kita sudah cukup tebal untuk menghalau dingin, tapi saya tidak mengerti mengapa ketika kau tidur, Kau selalu melepaskannya dan menggantinya dengan tubuh saya. Saya tak suka dengan cara kau memperlakukan saya. Krena yang lemah untuk sebuah dingin itu saya, bukan kau. Saya juga ingin memeluk tubuh kau terlebih dahulu, lalu kau membalasnya. Tapi tidaklah apa. Bagaimanapun juga, saya menyukai apapun dari kau, ya! apapun itu. Dan harus perlu Kau tau, setiap malam saya selalu suka melihat senyum kau saat tertidur (saat memeluk saya, seperti ini; mungkin kau sedang bermimpi indah). Bagi saya, itu adalah senyuman paling polos, senyuman paling tulus dan senyuman paling unik yang tidak dimiliki perempuan manapun selama saya bersama kau. Ijinkan saya memiliki senyuman kau.

Ketika pagi begini. Saya tak ingin menyingkap tubuh kau, Saya ingin terus merasa hangat dan tidak merasa sendiri. Tapi tiba-tiba pagi tenggelam, lalu kau selalu menangisi saya sebagai sebuah nisan yang berlumut.


2014
albumhitam.com






Share:

Saturday, January 18, 2014

Pada waktu hujan turun. Di sebuah jalan raya yang sepi kau membicarakan sesuatu di telingaku sambil melingkarkan tanganmu di pinggangku secara erat


picture is taken from here

Tidak lagi ada yang ditakutkan oleh sebuah kecemasan
Tidak lagi ada yang dicemaskan oleh sebuah kekhawatiran
Tidak lagi ada yang dikhawatirkan oleh sebuah ketakutan

Terimakasih, semoga semesta ikut meng-aamiin-kan





Share:

Tuesday, January 7, 2014

Cintailah Aku, dengan Sengaja

picture is taken from here

“Pernah ngebayangin nggak, kita yang sama-sama dicap gonta-ganti pacar. Pada akhirnya kita itu nikah, yang nantinya kamu jadi istri aku, aku jadi suami kamu”

“Helooo, mikir apaan kamu Mat. Atau jangan-jangan kamu lagi kesurupan? Hadaw, disini nggak ada dukun sunat Mat. Heloo...heloo... Nikah dari Hongkong. Lagian itu kan ulah mereka aja yang syirik sama kita Mat? Udah ah cuekin aja. Kaya biasanya kamu selalu cuekin aku kalo lagi sama Rara”

“Hahahaa... bener dugaanku. Jawabanmu nggak jauh beda dari tebakan aku tadi. emang bener kata orang, Kamu orangnya memang gampang ditebak. Apalagi dengan tempat bedak kosong yang selalu kamu bawa. haha dasar kaca!!!”

Warkop (warungkopi) di pelataran ruko pinggir jalan yang sudah mulai tutup. Adalah salah satu tempat yang biasa, atau bahkan terlihat kumuh bagi kebanyakan orang, atau bagi para abg-abg labil yang kerjaannya cuma update status nggak jelas. Tapi terkecuali bagi mereka berdua. Rama dan Rum, yang sudah sahabatan semenjak mereka saling ejek di sekolah dasar. Mereka selalu saja menganggap warkop adalah tempat yang asik dan ‘bebas’. Mereka selalu bisa tertawa sepuasnya, saling ejek satu sama lain. Tanpa harus melihat sekeliling yang dipenuhi orang-orang yang sedang berbelanja di mall. Atau tanpa harus melihat sekeliling yang dipenuhi orang-orang sedang melumat sphagetty dan semacamnya. Atau tanpa melihat bon yang nggak pernah bersahabat dengan imam bonjol-imam bonjol yang berderet rapi di dompet. Bagi mereka, hidup itu nggak selalu ribet dan jaga sikap. Hidup bagi mereka berdua itu bebas, bebas untuk memilih dan memutuskan, bebas untuk tertawa tanpa larangan, bebas untuk menangis kapan saja, bebas untuk menjadi apa saja yang belum pernah dipikirkan. Tapi bukan berarti mereka nggak punya prinsip sama sekali.

Prinsip itu ibarat sendok, alat untuk mengaduk kopi panas di warkop. Tapi bukan berarti kita nggak bisa mengaduk kopi dengan hanya menggunakan sendok saja. Kita masih bisa mengaduknya dengan bungkus kopi yang baru saja dimasukan ke dalam gelas, lalu digulung-gulung menyerupai dadar gulung. Dan rasanya juga manis, tergantung seberapa banyak kau masukan gula, atau tergantung seberapa banyak adukan yang kau aduk dengan bungkus kopi itu. Tapi bukan ini maksudnya. ini hanya ibarat, hidup tanpa prinsip boleh-boleh saja. Tapi apa kau mau di aduk dengan sebuah bungkus kopi? Sedang hidup ini ialah kopi itu sendiri.

Rama dan Rum selalu setia sama pasangan masing-masing. Walau ujung-ujungnya putus juga. Tapi mereka punya prinsip, bahwa setiap kali mereka pacaran, mereka anti selingkuh!. Walau banyak teman mereka, menganggap mereka adalah seorang player. Sebenarnya tidak juga. Mereka itu termasuk orang yang cepat move on Mereka selalu saja cepat mendapat pasangan lagi setelah putus, apalagi dengan paras mereka yang cukup lumayan. Bukan semata-mata ingin menunjukan bahwa diri mereka seorang player, mereka hanya tidak ingin sakit hati saja dan mengingat-ingat masa lalu. Maka dengan berpacaran—jatuh cinta lagi—membuat mereka berhasil move on

“Cinta itu selalu ribet, ya gak sih Mat?”

“Kenapa Ca? Putus lagi? Halah, lagian kamu juga kan yang mutusin dia. Udah diminum dulu tuh kopinya. Takut dingin”

“Ini bukan masalah siapa yang mutusin. Ini masalah rasa. Apa kita akan kaya gini terus ya Mat? Ngejalanin cinta yang emang cinta, tapi malah ujung-ujungnya cuma sementara aja dan nggak berlangsung lama. Apalagi dengan kata-kata temen yang nggak ngenakin kaya gitu. Kita kan cuma lagi cari pasangan yang tepat dan bener-bener nyaman. Ya gak sih Mat?”

“Hahaa, mulai dah curhat colongannya. Tapi ini udah hampir jam 10 malem. pulang aja yuk... aku juga nggak enak nyuri anak orang sampe malem gini”

“Ah nggak asyik kamu Mat, bisa nggak si nggak ngalihin pembicaraan. Kaya kamu nggak tau Ibu aku aja. Dia kan tau kamu Mat. Secara udah dari SD kita temenan. pasti Ibu percaya lah sama kamu. Kalo kamu bakal jagain aku dan nggak nggak berani macem-macem. Udah pesen kopi satu lagi aja dulu, aku pengen cerita nih. Mumpung lagi sama kamu juga Mat” tawar Rum kepada Rama dengan sedikit berharap

“Okedeh.. tapi ntar kalo akhirnya aku dimarahin. kamu yang jelasin semua ya? Dan nggak pake acara nangis-nangis segala. ok” Rum tidak pernah menangis di depan Rama, apapun alasannya. Jika Rum punya suatu masalah, ia akan cerita dengan tenang dan tanpa air mata. Karena ia tau, Rama sangat tidak suka dan tidak ingin melihatnya menangis tepat di depan matanya. Dan jika saat itu terjadi, Rama akan berubah seperti seorang polisi yang siap menembakan pistolnya kepada siapa saja yang ia anggap sebagai penjahatnya. Tentu, Ia akan sangat marah.

“Iya, iya Mamatku. Eh, kita udah jarang ya ngalamin kaya ginian. Apalagi semenjak masuk kampus. Kita terlalu sibuk sama pacar masing-masing. Selama puluhan tahun sahabatan, kamu tau nggak si, kita nggak pernah ada bosennya ya? Dan kamu nggak sama sekali ngerubah sikap kamu satu pun sama aku. Selalu aja ‘ngrocos’ dan cerewet seperti biasanya. Nggak ada yang bisa kamu sembunyiin, kamu selalu terbuka sama aku. Makanya aku juga gitu sama kamu. Biar kita sama. Ya nggak si?” pukau Rum pada Rama. mereka sekarang memang sudah terlihat jarang nongkrong di warkop. Yang dulu, sebelum akhirnya mereka fokus ke skripsi, mereka selalu saja hampir tiap hari menyempatkan diri. Minum kopi bersama di warkop bang Jiwan di pinggir jalan sudirman.

“Bang Jiwan. Kopi kereta api dua lagi ya bang. Jangan panas-panas cukup anget aja, kaya biasanya ya bang. biar bisa langsung diminum gitu. Ini si Kaca katanya mau nginep disini. Haha.”

“Siap mas Rama!! laksanakan!!” balas bang Jiwan

“Ah udahlah nggak usah ngebahas kaya gituan. Udah kamu mau cerita apa? Pacar kamu yang baru aja kamu putusin itu?” Rama kembali pada percakapannya dengan Rum, sambil mengambil sepasang cangkir kopi yang baru dibuatkan bang Jiwan. Dan mengambil beberapa tusuk sate kulit dan sate usus, kesukaan mereka berdua sebagai bahan cemilan.

“Iya Mat” Rum menyenderkan kepalanya di pundak Rama. sambil dimakannya sate kulit kesukaan Rum. Rama balas sandaran itu dengan melingkarkan tangannya di pinggul Rum dari belakang. Suasana mungkin mulai terasa romantis. Dengan di mulainya dialog yang mulai terfokus. “Randi itu ternyata sama kaya cowok-cowok lain mat. Tapi bukan brengseknya. Dia nggak brengsek kok mat, dia baik. Baik banget malah. Tapi yang paling aku nggak suka dari dia dan cowok-cowok lain yang pernah aku pacarin. Dia itu sama-sama selalu ikut-ikutan, nggak punya prinsip dalam hidupnya. Cakep si, tapi nggak pernah fokus sama hidupnya sendiri. Cuma bisa ngikutin yang lagi trend aja. Gimana bisa nanti kedepannya, kalo berjalan di jalannya orang lain.”

“Maksud kamu Ca? dari pernyataan kamu. aku masih belum ngeh ngedengernya”

“Nyaman itu bisa kita dapetin dari siapa aja, bener nggak sih Mat? Tapi bagi aku, nyaman itu nggak bisa—segitu gampangnya—didapetin dari siapa aja. Cuma ada orang tertentu yang bisa ngebuat aku nyaman. Seperti pacar-pacar aku yang sebelumnya. Tapi aku binggung kenapa diantara mereka nggak ada sekalipun yang punya prinsip. Paling nggak ngelakuin hidup itu bener-bener ada artinya. Bukan semata-mata untuk ngabisin hidup gitu aja. Contoh ya seperti tadi aku bilang, hidup itu nggak selalu yang ngikutin trend. Lagi marak apa kek, ikut-ikutan. Lagi booming apa kek, ikut-ikutan. Bukan aku liat dari sudut ‘fashion’ aja dan lain sebagainya. Tapi aku pandang dari cara mereka itu. Mereka terlalu respon sama hal yang lagi marak-maraknya. ya itu tadi, bukan cuma dari sudut fashion. Intinya gini, kalo dari fashion aja dia ikut-ikutan., Apalagi yang lain. Apa untuk menjadi seseorang pemimpin, seseorang yang ‘dipandang’ dan dinilai lebih atau bisa dianggap lebih baik oleh orang lain itu harus—selalu—ikut-ikutan? Pokoknya aku nggak suka cowok yang model begituan. aku nggak langsung ‘ngejudge’ dengan satu alasan itu ya. Tapi dengan cara-cara mereka yang selalu aku perhatiin, dan ternyata emang bener. Mereka ikut-ikutan bukan dari segi fashion aja. Cara mereka bergaul, cara mereka berpendapat, cara mereka makan, cara mereka memesan kopi, cara mereka begitu mudahnya ngejude orang lain. Pokoknya banyaklah yang lain sebagainya. 4tahun aku kuliah psikologi, udah cukup bisa kok nentuin mana yang punya prinsip. Mana yang enggak. Kaya kamu sekarang ini Mat”

“Ouw...”

“Udah gitu ajah? Emang ngeselin kamu Mat. Bener-bener ngeselin banget. aku udah ngomong panjang lebar, cuma jawab ouw” Rum ambil kepalanya menjauh dari pundak Rama. tangannya mengambil secangkir kopi yang sudah mulai dingin di meja. Ia tenangkan dirinya dengan meneguk kopi pelan-pelan dengan sedikit irama. Sebenarnya Rum kesal, tapi bagaimana lagi. Ia tak bisa berbuat apa-apa, Rama memang begitu orangnya.

“Aku ngerti kok, inti kesimpulan dari omongan kamu itu seperti ‘bukannya jadi diri sendiri itu keren?’ iya kan? Udah ah ayok pulang. aku nggak mau Ibu kamu khawatir lebih lama.”

“Yaudahlah, kamu emang masih sama kaya dulu. Nggak peduli sama masa lalu seseorang walau baru kemarin dilalui. Tapi kamu lebih peduli dan lebih peka jika seseorang itu merasa tersakiti. Walau inti kesimpulan yang kamu ambil itu emang bener. Tapi, yaudahlah. semoga aja dalam waktu dekat ini Gandhi nembak aku ya Mat. Aku udah mulai berdarah nih sama panah cinta yang dia tancepin ke hati aku. Hahaa. Sekalian pengen cepet move on lagi dari Randi.”

“Bodo amat! ayok ah pulang, dan jangan pernah sekali lagi panggil aku Mamat! Inget itu!”

“Cie cie Mamat ngambek dipanggil Mamat. Bentar ah pulangnya. Kopi kamu aja masih setengah”

Kebiasaan, kebersamaan, kesetiaan, canda tawa, menangis, tenggang rasa, dan apapun. Sebagai hubungan entah itu apa. Kita selalu bisa menangkap, apa saja dari orang lain atau lawan jenis kita entah dari mana. Hal-hal akan kita tau, bahkan dari ketidaksengajaan. Atau dari sesuatu yang memang lama kita amati. Sampai pada akhirnya kita tau. Apa saja, dari orang lain atau lawan jenis kita. Yang kita ingin tau, atau bahkan tidak kita ingin tau, sampai akhirnya kita tau.

***

Rindu membawaku ke dalam diri kita yang dulu, apalagi saat kita melakukan hal-hal seperti yang selalu kita lakukan.

“Kau masih saja sedungu dahulu, Mat”

“Dungu, apa maksudmu? Dasar Kaca!”

“Kau bertambah tua saja sekarang ya, semakin pikun dan semakin pelupa”

“Memangnya kau tidak? Sudahlah, lebih baik sekarang kau tinggalkan saja kebiasaanmu itu. Bersikaplah berbeda. Untuk apa selalu berkaca, kau tidak perlu menjadi lebih cantik lagi. Memangnya masih ada yang mau denganmu?” ledek Rama

“Aawww... sudah aku bilang, jangan suka ngelitikin aku. aku geli! Dasar Mamat! Lagian siapa yang masih suka berdandan? Melihat kau tersenyum saja melihatku. Aku sudah menangkap jawaban darimu kalau aku ini sudah cantik. Hehehee lagian dungu masih juga dipelihara. Sudah aku katakan bahwa tidak ada uban di kepalamu, tapi kau masih saja memintaku untuk mencabutinya” balas Rum

“Entah kenapa, tiba-tiba saja percakapan kita di warkop dulu selalu saja teringat di pikiranku. Semua memang nggak bisa diduga yah... seperti sekarang ini, entah kenapa aku lebih nyaman dan lebih suka bersandar di pangkuanmu. Dan menatap sore bersama-sama”

Sore itu warnanya begitu jingga. Menyoroti sepasang mata mereka, dan secangkir teh tubruk yang Rum buatkan tanpa gula. Uban-uban di kepala Rama sedang Rum cabuti satu persatu. Di sebuah sofa panjang di balkon yang menghadap ke barat, mereka sedang mengingat masa lalu. Paha Rum mungkin adalah bantal terempuk yang pernah Rama rasakan selama hidupnya. Sudah hampir genap 10 tahun pernikahan mereka, kata-kata yang mereka ingat masih hanya itu-itu saja. tentang mimpi yang bahkan tidak pernah sekali saja mereka impikan.

2014

albumhitam.com
Share:

Monday, January 6, 2014

Yang Menyakitkan

picture is taken from here

1. padahal aku juga tau, kau selalu menghalangiku tak terhitung banyaknya. Hingga dinding yang telah aku hancurkan, kau bangun lagi bahkan lebih tinggi

2. dan semoga kau tau jawabannya. Ini karena, aku tak memiliki seorangpun lagi yang bisa aku percaya. Ini karena, jika aku tak terus mengikuti dan menganggumu. Aku akan sendirian

3. dan semoga saja kau memang tau jawabannya. Semua karena, kesendirian lebih menyakitkan dari pada rasa sakit apapun




.
Share:

Biografi

M.L.A. Mistam Lahir Duapuluh sekian tahun yang lalu. Belajar menulis puisi dan cerita pendek dari tahun 2010. Saat ini sedang menggemari membaca cerita dan menonton DVD. Buku-bukunya yang telah terbit “Yang Kucintai Selain Puisi (2013)”, “Aku Selalu Bisa Pulang (2014)”, “Apabila Denganmu (2015)", “Lelaki Pejuang Kuota (2016)", “Karena Di Dalam Lubuk Hatiku (2017)". Beberapa puisi dan cerpennya pernah diikutkan dalam beberapa buku “Sepasang Sayap yang Menerbangkan Ingatan (2012)”, “Antologi @puisi__cinta (2013)”, “Laut (2013)”, “Kepak Sayap-sayap (2014)” Sampai saat ini masih aktif membaca dan menulis bersama komunitas Banyuasin. Di blognya mohamadlatif.com ia masih suka menularkan rasa keegoisannya. Saat ini sedang sibuk mengerjakan sebuah buku terbarunya.

Hosting Unlimited Indonesia