![]() |
picture is taken from here |
“Pernah ngebayangin nggak, kita yang sama-sama dicap
gonta-ganti pacar. Pada akhirnya kita itu nikah, yang nantinya kamu jadi istri
aku, aku jadi suami kamu”
“Helooo, mikir apaan kamu Mat. Atau jangan-jangan kamu
lagi kesurupan? Hadaw, disini nggak ada dukun sunat Mat. Heloo...heloo... Nikah
dari Hongkong. Lagian itu kan ulah mereka aja yang syirik sama kita Mat? Udah
ah cuekin aja. Kaya biasanya kamu selalu cuekin aku kalo lagi sama Rara”
“Hahahaa... bener dugaanku. Jawabanmu nggak jauh beda
dari tebakan aku tadi. emang bener kata orang, Kamu orangnya memang gampang
ditebak. Apalagi dengan tempat bedak kosong yang selalu kamu bawa. haha dasar
kaca!!!”
Warkop (warungkopi) di pelataran ruko pinggir jalan yang
sudah mulai tutup. Adalah salah satu tempat yang biasa, atau bahkan terlihat
kumuh bagi kebanyakan orang, atau bagi para abg-abg labil yang kerjaannya cuma
update status nggak jelas. Tapi terkecuali bagi mereka berdua. Rama dan Rum,
yang sudah sahabatan semenjak mereka saling ejek di sekolah dasar. Mereka
selalu saja menganggap warkop adalah tempat yang asik dan ‘bebas’. Mereka
selalu bisa tertawa sepuasnya, saling ejek satu sama lain. Tanpa harus melihat
sekeliling yang dipenuhi orang-orang yang sedang berbelanja di mall. Atau tanpa
harus melihat sekeliling yang dipenuhi orang-orang sedang melumat sphagetty dan
semacamnya. Atau tanpa melihat bon yang nggak pernah bersahabat dengan imam
bonjol-imam bonjol yang berderet rapi di dompet. Bagi mereka, hidup itu nggak
selalu ribet dan jaga sikap. Hidup bagi mereka berdua itu bebas, bebas untuk
memilih dan memutuskan, bebas untuk tertawa tanpa larangan, bebas untuk
menangis kapan saja, bebas untuk menjadi apa saja yang belum pernah dipikirkan.
Tapi bukan berarti mereka nggak punya prinsip sama sekali.
Prinsip itu ibarat sendok, alat untuk mengaduk kopi panas
di warkop. Tapi bukan berarti kita nggak bisa mengaduk kopi dengan hanya
menggunakan sendok saja. Kita masih bisa mengaduknya dengan bungkus kopi yang
baru saja dimasukan ke dalam gelas, lalu digulung-gulung menyerupai dadar
gulung. Dan rasanya juga manis, tergantung seberapa banyak kau masukan gula,
atau tergantung seberapa banyak adukan yang kau aduk dengan bungkus kopi itu.
Tapi bukan ini maksudnya. ini hanya ibarat, hidup tanpa prinsip boleh-boleh
saja. Tapi apa kau mau di aduk dengan sebuah bungkus kopi? Sedang hidup ini
ialah kopi itu sendiri.
Rama dan Rum selalu setia sama pasangan masing-masing.
Walau ujung-ujungnya putus juga. Tapi mereka punya prinsip, bahwa setiap kali
mereka pacaran, mereka anti selingkuh!. Walau banyak teman mereka, menganggap
mereka adalah seorang player. Sebenarnya tidak juga. Mereka itu termasuk orang
yang cepat move on Mereka selalu saja cepat mendapat pasangan lagi setelah
putus, apalagi dengan paras mereka yang cukup lumayan. Bukan semata-mata ingin
menunjukan bahwa diri mereka seorang player, mereka hanya tidak ingin sakit
hati saja dan mengingat-ingat masa lalu. Maka dengan berpacaran—jatuh cinta
lagi—membuat mereka berhasil move on
“Cinta itu selalu ribet, ya gak sih Mat?”
“Kenapa Ca? Putus lagi? Halah, lagian kamu juga kan yang
mutusin dia. Udah diminum dulu tuh kopinya. Takut dingin”
“Ini bukan masalah siapa yang mutusin. Ini masalah rasa.
Apa kita akan kaya gini terus ya Mat? Ngejalanin cinta yang emang cinta, tapi
malah ujung-ujungnya cuma sementara aja dan nggak berlangsung lama. Apalagi
dengan kata-kata temen yang nggak ngenakin kaya gitu. Kita kan cuma lagi cari
pasangan yang tepat dan bener-bener nyaman. Ya gak sih Mat?”
“Hahaa, mulai dah curhat colongannya. Tapi ini udah
hampir jam 10 malem. pulang aja yuk... aku juga nggak enak nyuri anak orang
sampe malem gini”
“Ah nggak asyik kamu Mat, bisa nggak si nggak ngalihin
pembicaraan. Kaya kamu nggak tau Ibu aku aja. Dia kan tau kamu Mat. Secara udah
dari SD kita temenan. pasti Ibu percaya lah sama kamu. Kalo kamu bakal jagain
aku dan nggak nggak berani macem-macem. Udah pesen kopi satu lagi aja dulu, aku
pengen cerita nih. Mumpung lagi sama kamu juga Mat” tawar Rum kepada Rama
dengan sedikit berharap
“Okedeh.. tapi ntar kalo akhirnya aku dimarahin. kamu
yang jelasin semua ya? Dan nggak pake acara nangis-nangis segala. ok” Rum tidak
pernah menangis di depan Rama, apapun alasannya. Jika Rum punya suatu masalah,
ia akan cerita dengan tenang dan tanpa air mata. Karena ia tau, Rama sangat
tidak suka dan tidak ingin melihatnya menangis tepat di depan matanya. Dan jika
saat itu terjadi, Rama akan berubah seperti seorang polisi yang siap menembakan
pistolnya kepada siapa saja yang ia anggap sebagai penjahatnya. Tentu, Ia akan
sangat marah.
“Iya, iya Mamatku. Eh, kita udah jarang ya ngalamin kaya
ginian. Apalagi semenjak masuk kampus. Kita terlalu sibuk sama pacar
masing-masing. Selama puluhan tahun sahabatan, kamu tau nggak si, kita nggak
pernah ada bosennya ya? Dan kamu nggak sama sekali ngerubah sikap kamu satu pun
sama aku. Selalu aja ‘ngrocos’ dan cerewet seperti biasanya. Nggak ada yang
bisa kamu sembunyiin, kamu selalu terbuka sama aku. Makanya aku juga gitu sama
kamu. Biar kita sama. Ya nggak si?” pukau Rum pada Rama. mereka sekarang memang
sudah terlihat jarang nongkrong di warkop. Yang dulu, sebelum akhirnya mereka
fokus ke skripsi, mereka selalu saja hampir tiap hari menyempatkan diri. Minum
kopi bersama di warkop bang Jiwan di pinggir jalan sudirman.
“Bang Jiwan. Kopi kereta api dua lagi ya bang. Jangan
panas-panas cukup anget aja, kaya biasanya ya bang. biar bisa langsung diminum
gitu. Ini si Kaca katanya mau nginep disini. Haha.”
“Siap mas Rama!! laksanakan!!” balas bang Jiwan
“Ah udahlah nggak usah ngebahas kaya gituan. Udah kamu
mau cerita apa? Pacar kamu yang baru aja kamu putusin itu?” Rama kembali pada
percakapannya dengan Rum, sambil mengambil sepasang cangkir kopi yang baru
dibuatkan bang Jiwan. Dan mengambil beberapa tusuk sate kulit dan sate usus,
kesukaan mereka berdua sebagai bahan cemilan.
“Iya Mat” Rum menyenderkan kepalanya di pundak Rama.
sambil dimakannya sate kulit kesukaan Rum. Rama balas sandaran itu dengan
melingkarkan tangannya di pinggul Rum dari belakang. Suasana mungkin mulai
terasa romantis. Dengan di mulainya dialog yang mulai terfokus. “Randi itu
ternyata sama kaya cowok-cowok lain mat. Tapi bukan brengseknya. Dia nggak
brengsek kok mat, dia baik. Baik banget malah. Tapi yang paling aku nggak suka
dari dia dan cowok-cowok lain yang pernah aku pacarin. Dia itu sama-sama selalu
ikut-ikutan, nggak punya prinsip dalam hidupnya. Cakep si, tapi nggak pernah
fokus sama hidupnya sendiri. Cuma bisa ngikutin yang lagi trend aja. Gimana
bisa nanti kedepannya, kalo berjalan di jalannya orang lain.”
“Maksud kamu Ca? dari pernyataan kamu. aku masih belum
ngeh ngedengernya”
“Nyaman itu bisa kita dapetin dari siapa aja, bener nggak
sih Mat? Tapi bagi aku, nyaman itu nggak bisa—segitu gampangnya—didapetin dari
siapa aja. Cuma ada orang tertentu yang bisa ngebuat aku nyaman. Seperti
pacar-pacar aku yang sebelumnya. Tapi aku binggung kenapa diantara mereka nggak
ada sekalipun yang punya prinsip. Paling nggak ngelakuin hidup itu bener-bener
ada artinya. Bukan semata-mata untuk ngabisin hidup gitu aja. Contoh ya seperti
tadi aku bilang, hidup itu nggak selalu yang ngikutin trend. Lagi marak apa
kek, ikut-ikutan. Lagi booming apa kek, ikut-ikutan. Bukan aku liat dari sudut
‘fashion’ aja dan lain sebagainya. Tapi aku pandang dari cara mereka itu.
Mereka terlalu respon sama hal yang lagi marak-maraknya. ya itu tadi, bukan
cuma dari sudut fashion. Intinya gini, kalo dari fashion aja dia ikut-ikutan.,
Apalagi yang lain. Apa untuk menjadi seseorang pemimpin, seseorang yang
‘dipandang’ dan dinilai lebih atau bisa dianggap lebih baik oleh orang lain itu
harus—selalu—ikut-ikutan? Pokoknya aku nggak suka cowok yang model begituan.
aku nggak langsung ‘ngejudge’ dengan satu alasan itu ya. Tapi dengan cara-cara
mereka yang selalu aku perhatiin, dan ternyata emang bener. Mereka ikut-ikutan
bukan dari segi fashion aja. Cara mereka bergaul, cara mereka berpendapat, cara
mereka makan, cara mereka memesan kopi, cara mereka begitu mudahnya ngejude
orang lain. Pokoknya banyaklah yang lain sebagainya. 4tahun aku kuliah
psikologi, udah cukup bisa kok nentuin mana yang punya prinsip. Mana yang
enggak. Kaya kamu sekarang ini Mat”
“Ouw...”
“Udah gitu ajah? Emang ngeselin kamu Mat. Bener-bener
ngeselin banget. aku udah ngomong panjang lebar, cuma jawab ouw” Rum ambil
kepalanya menjauh dari pundak Rama. tangannya mengambil secangkir kopi yang
sudah mulai dingin di meja. Ia tenangkan dirinya dengan meneguk kopi
pelan-pelan dengan sedikit irama. Sebenarnya Rum kesal, tapi bagaimana lagi. Ia
tak bisa berbuat apa-apa, Rama memang begitu orangnya.
“Aku ngerti kok, inti kesimpulan dari omongan kamu itu
seperti ‘bukannya jadi diri sendiri itu keren?’ iya kan? Udah ah ayok pulang. aku
nggak mau Ibu kamu khawatir lebih lama.”
“Yaudahlah, kamu emang masih sama kaya dulu. Nggak peduli
sama masa lalu seseorang walau baru kemarin dilalui. Tapi kamu lebih peduli dan
lebih peka jika seseorang itu merasa tersakiti. Walau inti kesimpulan yang kamu
ambil itu emang bener. Tapi, yaudahlah. semoga aja dalam waktu dekat ini Gandhi
nembak aku ya Mat. Aku udah mulai berdarah nih sama panah cinta yang dia
tancepin ke hati aku. Hahaa. Sekalian pengen cepet move on lagi dari Randi.”
“Bodo amat! ayok ah pulang, dan jangan pernah sekali lagi
panggil aku Mamat! Inget itu!”
“Cie cie Mamat ngambek dipanggil Mamat. Bentar ah
pulangnya. Kopi kamu aja masih setengah”
Kebiasaan, kebersamaan, kesetiaan, canda tawa, menangis,
tenggang rasa, dan apapun. Sebagai hubungan entah itu apa. Kita selalu bisa
menangkap, apa saja dari orang lain atau lawan jenis kita entah dari mana.
Hal-hal akan kita tau, bahkan dari ketidaksengajaan. Atau dari sesuatu yang memang
lama kita amati. Sampai pada akhirnya kita tau. Apa saja, dari orang lain atau
lawan jenis kita. Yang kita ingin tau, atau bahkan tidak kita ingin tau, sampai
akhirnya kita tau.
***
Rindu membawaku ke dalam diri kita yang dulu, apalagi
saat kita melakukan hal-hal seperti yang selalu kita lakukan.
“Kau masih saja sedungu dahulu, Mat”
“Dungu, apa maksudmu? Dasar Kaca!”
“Kau bertambah tua saja sekarang ya, semakin pikun dan
semakin pelupa”
“Memangnya kau tidak? Sudahlah, lebih baik sekarang kau
tinggalkan saja kebiasaanmu itu. Bersikaplah berbeda. Untuk apa selalu berkaca,
kau tidak perlu menjadi lebih cantik lagi. Memangnya masih ada yang mau
denganmu?” ledek Rama
“Aawww... sudah aku bilang, jangan suka ngelitikin aku.
aku geli! Dasar Mamat! Lagian siapa yang masih suka berdandan? Melihat kau
tersenyum saja melihatku. Aku sudah menangkap jawaban darimu kalau aku ini
sudah cantik. Hehehee lagian dungu masih juga dipelihara. Sudah aku katakan
bahwa tidak ada uban di kepalamu, tapi kau masih saja memintaku untuk
mencabutinya” balas Rum
“Entah kenapa, tiba-tiba saja percakapan kita di warkop
dulu selalu saja teringat di pikiranku. Semua memang nggak bisa diduga yah...
seperti sekarang ini, entah kenapa aku lebih nyaman dan lebih suka bersandar di
pangkuanmu. Dan menatap sore bersama-sama”
Sore itu warnanya begitu jingga. Menyoroti sepasang mata
mereka, dan secangkir teh tubruk yang Rum buatkan tanpa gula. Uban-uban di
kepala Rama sedang Rum cabuti satu persatu. Di sebuah sofa panjang di balkon
yang menghadap ke barat, mereka sedang mengingat masa lalu. Paha Rum mungkin
adalah bantal terempuk yang pernah Rama rasakan selama hidupnya. Sudah hampir
genap 10 tahun pernikahan mereka, kata-kata yang mereka ingat masih hanya itu-itu saja. tentang
mimpi yang bahkan tidak pernah sekali saja mereka impikan.
2014
albumhitam.com
0 comments:
Post a Comment