Anggap saja aku
ialah seseorang yang baik selama ini, selama hidupmu—hidup kita. Mungkin benar
katamu. Kesedihan diciptakan karena adanya kebahagiaan. Tapi bukan
semata-mata kita tidak boleh bersedih—menangis—karena kebahagiaan itu terlalu
sangat dirasakan olehmu. Karena kesedihan bukanlah suatu penyakit. Yang dimana kau selalu merasa
tersakiti—apapun itu, entah perasaan, hati, jiwa, dan dunia. Tapi, ketahuilah.
Aku ingin sekali kau berhenti menangis. Sebentar saja, selama hidupku.
Entah aku-pun
juga tidak tau. Kau selalu saja menganggap dirimu adalah orang yang tidak cengeng—gampang
menangis—tapi aku selalu saja memergokimu menangis ketika dalam keadaan yang tidak
biasa. Bahkan tangisanmu itu selalu saja terlalu gugup, terlalu mengambil nafas
yang dalam setiap detiknya. Apalagi dengan air mata yang sudah menjebol bendungan di kelopak matamu,
juga ingus yang sering kali kau hapus—tentu dengan apa saja, ditambah jika kau sedang
menangis begitu hebatnya.
—Kau selalu
saja menganggap dirimu adalah orang yang tidak cengeng. Tapi kenyataannya
tidak.
Aku juga tak
mengerti apakah perempuan sepertimu, atau memang kebanyakan perempuan seperti
ini—menangis, menangis, dan menangis. Mungkin menangis adalah hal wajah bagi
kebanyakan perempuan. Mungkin juga bagi mereka yang berperasaan berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Yang cenderung
mempunyai hati yang tidak keras(mudah tertusuk dan terluka). Kata sebagian dari
mereka, menangis itu ‘Melegakan’. Aku
sendiri tidak terlalu paham dan tidak terlalu mengerti. Sebagai laki-laki, aku
tentunya, mungkin menangis adalah hal yang aneh. Tapi tidak berarti laki-laki itu
tidak boleh menangis.
Menangis memang
tak melulu disangkut pautkan dengan air mata. Air mata mungkin bagiku, hanya
cara mengeluarkan rasa tangis dan sedih tersebut. Entah bagaimana kau
menilainya, entah itu salah atau benar. Tapi bagiku kau memang terlalu cengeng.
Untuk hal-hal yang aku anggap biasa, dan kau anggap tidak biasa. Ya mungkin
karena kita berbeda gender. Tapi sudahlah, kehidupan sudah merancang sistem yang sudah seperti itu.
Amal, aku juga
sebenarnya tak menginginkan apapun terjadi. Dalam konteks yang tidak pernah kau minta—dan aku juga minta. Namun Tuhan
memang lebih kuasa dari apapun, dari segalanya. Tapi untuk apa kau selalu
menyambutnya dengan tangis. Bukankah aku selalu tersenyum kepadamu? Dan bahkan
aku tak pernah menunjukan rasa sedihku sedikitpun kepadamu? Tapi mengapa kau selalu
menangis? Aku hanya berdarah saja, bahkan hanya di pergelangan tangan kiriku,
dan bukan di kepala. Aku hanya ingin mati waktu itu, tapi kau terus menangis.
Aku hanya ingin merasakan sakit yang paling sakit, agar aku tak merasakan sakit
lagi. Tapi kau terus saja menangis.
Aku tau kau
memang pemalu. Tentu, apalagi dengan cengengmu itu. Padahal aku belum sempat
menceritakan beberapa hal kepadamu—tentangku—tapi kau sudah menangis terlebih
dahulu. Amal, mungkin benar katamu. Cinta tak selalu saja tentang kasih sayang
dan semacamnya. Cinta juga butuh sesuatu yang lain. Dan saat itu aku setuju,
bahkan setuju sekali. Baru pernah seseorang sepertimu menjelaskannya kepadaku.
Aku tak tau masalah cintamu, tapi kau selalu saja tau—ingin selalu mencari
tau—tentangku. Entah orang macam apa kau ini, ingin mencari tau segala sesuatu
yang aku lakukan. Apa karena rasa sayangmu? Entahlah, tapi semoga saja memang
benar. Karena saat ini aku sedang meng-aamiin-kannya.
Amal, aku hanya
ingin mati, tapi kau terus saja menangis. Aku hanya ingin merasakan sakit yang
paling sakit, agar aku tak merasakan sakit lagi. Tapi kau terus saja menangis.
Semoga kau masih ingat kata-kataku tadi. Ya, yang kita bicarakan waktu itu. Kau
bahkan mengetahuinya bukan? “Biarkan saja luka ini begitu berdarah, begitu
menganga. Walau bukan aku sendiri yang melukainya. Karena kau tau, ini akan
mengakhiri segala sakitku” tapi kau terus saja menangis, padahal aku sudah tak
melakukan apapun lagi (hanya menenangkanmu). Dan herannya aku, saat itu kau tak
mencegahku untuk melakukan apapun. Kau hanya bisa menangis. Amal yang cengeng.
Sangat cengeng.
Amal, Apakah
kau takut darah? Apakah kau takut aku ini terluka begitu parah? Aku tak pernah
melihatmu menangis sehebat itu, aku tak pernah melihatmu menangis sebahaya itu.
Kau memang cengeng, sangat cengeng. Hingga akhirnya kau berhenti menangis. Saat
aku sudah benar-benar tak bisa lagi menenangkanmu, sekarang. Untuk waktu yang
sudah aku tinggalkan.