Monday, February 3, 2014

Untuk Amal


Anggap saja aku ialah seseorang yang baik selama ini, selama hidupmu—hidup kita. Mungkin benar katamu. Kesedihan diciptakan karena adanya kebahagiaan. Tapi bukan semata-mata kita tidak boleh bersedih—menangis—karena kebahagiaan itu terlalu sangat dirasakan olehmu. Karena kesedihan bukanlah suatu penyakit. Yang dimana kau selalu merasa tersakiti—apapun itu, entah perasaan, hati, jiwa, dan dunia. Tapi, ketahuilah. Aku ingin sekali kau berhenti menangis. Sebentar saja, selama hidupku.
Entah aku-pun juga tidak tau. Kau selalu saja menganggap dirimu adalah orang yang tidak cengeng—gampang menangis—tapi aku selalu saja memergokimu menangis ketika dalam keadaan yang tidak biasa. Bahkan tangisanmu itu selalu saja terlalu gugup, terlalu mengambil nafas yang dalam setiap detiknya. Apalagi dengan air mata yang sudah menjebol bendungan di kelopak matamu, juga ingus yang sering kali kau hapus—tentu dengan apa saja, ditambah jika kau sedang menangis begitu hebatnya.
Kau selalu saja menganggap dirimu adalah orang yang tidak cengeng. Tapi kenyataannya tidak.
Aku juga tak mengerti apakah perempuan sepertimu, atau memang kebanyakan perempuan seperti ini—menangis, menangis, dan menangis. Mungkin menangis adalah hal wajah bagi kebanyakan perempuan. Mungkin juga bagi mereka yang berperasaan berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Yang cenderung mempunyai hati yang tidak keras(mudah tertusuk dan terluka). Kata sebagian dari mereka, menangis itu ‘Melegakan’. Aku sendiri tidak terlalu paham dan tidak terlalu mengerti. Sebagai laki-laki, aku tentunya, mungkin menangis adalah hal yang aneh. Tapi tidak berarti laki-laki itu tidak boleh menangis.
Menangis memang tak melulu disangkut pautkan dengan air mata. Air mata mungkin bagiku, hanya cara mengeluarkan rasa tangis dan sedih tersebut. Entah bagaimana kau menilainya, entah itu salah atau benar. Tapi bagiku kau memang terlalu cengeng. Untuk hal-hal yang aku anggap biasa, dan kau anggap tidak biasa. Ya mungkin karena kita berbeda gender. Tapi sudahlah, kehidupan sudah merancang sistem yang sudah seperti itu.
Amal, aku juga sebenarnya tak menginginkan apapun terjadi. Dalam konteks yang tidak pernah kau minta—dan aku juga minta. Namun Tuhan memang lebih kuasa dari apapun, dari segalanya. Tapi untuk apa kau selalu menyambutnya dengan tangis. Bukankah aku selalu tersenyum kepadamu? Dan bahkan aku tak pernah menunjukan rasa sedihku sedikitpun kepadamu? Tapi mengapa kau selalu menangis? Aku hanya berdarah saja, bahkan hanya di pergelangan tangan kiriku, dan bukan di kepala. Aku hanya ingin mati waktu itu, tapi kau terus menangis. Aku hanya ingin merasakan sakit yang paling sakit, agar aku tak merasakan sakit lagi. Tapi kau terus saja menangis.
Aku tau kau memang pemalu. Tentu, apalagi dengan cengengmu itu. Padahal aku belum sempat menceritakan beberapa hal kepadamu—tentangku—tapi kau sudah menangis terlebih dahulu. Amal, mungkin benar katamu. Cinta tak selalu saja tentang kasih sayang dan semacamnya. Cinta juga butuh sesuatu yang lain. Dan saat itu aku setuju, bahkan setuju sekali. Baru pernah seseorang sepertimu menjelaskannya kepadaku. Aku tak tau masalah cintamu, tapi kau selalu saja tau—ingin selalu mencari tau—tentangku. Entah orang macam apa kau ini, ingin mencari tau segala sesuatu yang aku lakukan. Apa karena rasa sayangmu? Entahlah, tapi semoga saja memang benar. Karena saat ini aku sedang meng-aamiin-kannya.
Amal, aku hanya ingin mati, tapi kau terus saja menangis. Aku hanya ingin merasakan sakit yang paling sakit, agar aku tak merasakan sakit lagi. Tapi kau terus saja menangis. Semoga kau masih ingat kata-kataku tadi. Ya, yang kita bicarakan waktu itu. Kau bahkan mengetahuinya bukan? “Biarkan saja luka ini begitu berdarah, begitu menganga. Walau bukan aku sendiri yang melukainya. Karena kau tau, ini akan mengakhiri segala sakitku” tapi kau terus saja menangis, padahal aku sudah tak melakukan apapun lagi (hanya menenangkanmu). Dan herannya aku, saat itu kau tak mencegahku untuk melakukan apapun. Kau hanya bisa menangis. Amal yang cengeng. Sangat cengeng.
Amal, Apakah kau takut darah? Apakah kau takut aku ini terluka begitu parah? Aku tak pernah melihatmu menangis sehebat itu, aku tak pernah melihatmu menangis sebahaya itu. Kau memang cengeng, sangat cengeng. Hingga akhirnya kau berhenti menangis. Saat aku sudah benar-benar tak bisa lagi menenangkanmu, sekarang. Untuk waktu yang sudah aku tinggalkan.







Share:

0 comments:

Post a Comment

Biografi

M.L.A. Mistam Lahir Duapuluh sekian tahun yang lalu. Belajar menulis puisi dan cerita pendek dari tahun 2010. Saat ini sedang menggemari membaca cerita dan menonton DVD. Buku-bukunya yang telah terbit “Yang Kucintai Selain Puisi (2013)”, “Aku Selalu Bisa Pulang (2014)”, “Apabila Denganmu (2015)", “Lelaki Pejuang Kuota (2016)", “Karena Di Dalam Lubuk Hatiku (2017)". Beberapa puisi dan cerpennya pernah diikutkan dalam beberapa buku “Sepasang Sayap yang Menerbangkan Ingatan (2012)”, “Antologi @puisi__cinta (2013)”, “Laut (2013)”, “Kepak Sayap-sayap (2014)” Sampai saat ini masih aktif membaca dan menulis bersama komunitas Banyuasin. Di blognya mohamadlatif.com ia masih suka menularkan rasa keegoisannya. Saat ini sedang sibuk mengerjakan sebuah buku terbarunya.

Hosting Unlimited Indonesia