Thursday, January 14, 2016

Sebelum Pukul Setengah Lima Sore

picture is taken from here



Lampu kuning baru saja menyala. Setelah detik angka di traffic light sudah menghabiskan angka 0. Oka berhenti di sebuah perempatan. Dengan kaki kiri sebagai penahan motor dan seseorang yang diboncengnya. Oka tidak memperhatikan angka-angka yang berhitung mundur pada lampu merah di traffic light, Ia hanya memikirkan tentang Yuni—seseorang yang membonceng di belakang motornya. Semenjak ia menjemput Yuni di kampus hari itu, selama di perjalanan pulang Yuni tidak seperti biasanya. Yang setiap kali jika diantarkan oleh Oka, pasti selalu saja ada pembicaraan-pembicaraan kecil diantaranya. Walau terkadang pembicaraan tersebut, ialah pembicaraan yang tidak perlu. Seperti “Kamu tau nggak singkatan kampus itu apa?”.
Sebelum angka 0 di Running Text habis, dan baru menunjukan angka dua. Oka masih diam, sambil memandang kosong sebuah perempatan di depannya, Hingga angka 2 dilenyapkan waktu, dan beberapa bunyi klakson menyadarkan lamunannya. Yuni-pun masih saja diam, tidak mengingatkan Oka untuk bersiap-siap menarik gasnya dan melaju. Hingga Oka sadar, lampu telah hijau 5 detik yang lalu. Yuni masih diam, tentu dengan gerak tubuhnya yang memang diam tak bergerak. Ia hanya memandang jalan di sebelah kiri Oka. Karena Yuni membonceng Oka dengan cara menyamping (maklum, Yuni tidak pernah memakai celana. Ia selalu mengenakan rok kemanapun ia pergi. Setelah suatu ketika Oka pernah mengatakan kepada Yuni, jika Oka tidak suka Yuni memakai celana dan lebih suka Yuni mengenakan rok). Yuni terus melamun, entah ada apa di kepalanya saat itu. Namun, Yuni masih saja diam.
Setelah sampai di depan gerbang putih rumah Yuni. Yang pagarnya selalu tertutup namun tidak pernah dikunci. Yuni turun dari duduk manisnya di atas motor Oka. Lalu ia tiba-tiba saja pergi dari hadapan Oka. Yuni terlihat sangat kesal sore itu. Bukan hanya diam yang Yuni lakukan, namun dengan wajah yang di tekuk segi delapan, dan kerutan di dahinya yang ia tunjukan kepada siapapun yang melihatnya. Sesekali ia menunduk seperti menahan tangis. Sampai akhirnya ia berlari menuju pintu rumahnya, sambil diusap matanya berkali-kali oleh sebuah tisu yang sudah basah sejak tadi (semenjak ia dijemput oleh Oka, dan membonceng motornya). Apalagi dengan gerimis yang mulai datang, mengantarkannya pulang setelah turun dari motor. Oka tak tau apa yang sedang terjadi “biasanya tidak seperti ini, ada yang berbeda darinya” benak Oka. Oka selalu bisa melihat Yuni tertawa, tertawa dan tertawa, yang Oka selalu lihat dari spion di sebelah kirinya. Seperti saat ketika Yuni pernah mendapat hadiah sebuah pulpen di hari ulang tahunnya. Ya sekedar hadiah sebuah pulpen saja, Yuni bercerita panjang lebar, alas tinggi, luas volume, ya segalanya ia ceritakan kepadanya begitu semangat dan gembira.
Setelah turun dari motor, Yuni langsung saja masuk ke rumah tanpa pamit menengokan wajahnya kepada Oka. Oka juga tak tau, mengapa semenjak ia jemput Yuni di kampus. Ia hanya diam, diam dan diam. Terdengar ia hanya seperti menghirup kembali ‘ingus’ nya secara kuat. Oka pikir Yuni sedang terserang flu. Namun dilihat dari wajahnya yang Oka curi dari spion, kesedihan adalah jawaban yang pas. Tapi Oka masih merasa janggal. Tak ada percakapan di perjalan pulang seperti biasanya. Oka juga binggung kenapa tiba-tiba saja Yuni pergi, padahal Oka sedang ingin membicarakan satu hal penting kepadanya waktu itu.

***

“Itu siapa Ka? Manis yah. Pacarmu ya?” Febri dengan rasa penasarannya
“Bukan, ia bukan pacarku. Yuni namanya, Ia tetangga, sekaligus teman dekatku, ya bisa dibilang sahabatlah” tandas Oka, sambil menggelengkan kepalanya.
“Aku kira kamu pacaran sama dia, setiap hari berangkat dan pulang kuliah kan sama kamu terus?”
“Oh iya, aku dititipin sama keluarganya untuk njaga dia, khususnya nganterin dia ke kampus. Yang aku bilang tadi, Yuni itu anak tetangga rumahku. Ya walau beda 1 blok di perumahan. Aku blok C dia blok B. Tapi keluarga kami sudah saling mengenal baik. Gimana nggak kenal baik, bapaknya dia dan bapakku dulu 1 sekolahan bareng dari TK sampai SMP. Dan karena Yuni tidak bisa naik motor sendiri, dan memang tidak ada angkot dari rumahnya atau rumah kami ke kampus. Maka orang tuanya yang bisnisman itu, yang sibuk mondar-mandir keluar kota dan tidak bisa menyempatkan untuk mengantar jemput anaknya. Ayahnya nitipin Yuni ke aku. Buat berangkat dan pulang kuliah bareng sama aku. Kata bapaknya ‘Daripada harus sama supir, mending sama aku gitu. Sekalian buat teman disini’ ”
“Lah Ibunya?”
“Keluarganya single parent Feb”
“Tapi bukannya kalian beda jurusan ya?”
“Ya begitulah, kadang aku yang sempetin waktu buat nganterin dia kuliah walau aku nggak ada kuliah hari itu”
“Kamu nggak ngrasa keberatan tiap hari kaya gitu Ka?”
“Sebenernya si keberatan. Tapi karena ini sebuah tanggung jawab, ya aku ikhlas ngejalaninya”
“Tapi kalo dilihat-lihat, Yuni itu manis juga ya Ka? Dia lagi jomblo nggak ya kira-kira?” tanya Febri serius, setelah tau akan ada suatu hal dari jawaban Oka.
“Oh, dia jomblo kok. Tapi aku sarankan jangan suka sama dia. Dia itu anaknya mbosenin, jorok, baperan, pokoknya nggak enak deh punya temen kaya dia. Serius. Suka ngupil dimanapun, sendawa dan kentut yang juga nggak tau tempat. Pokoknya kalo kamu suka sama dia, bakalan nyesel deh” jawab Oka cepat.
“Ah, masa gitu? Tapi enggak ah kayanya” Febri mengerutkan dahi.
“Yaudah, ayok masuk kelas. Udah mau masuk mata kuliahnya dosen killer nih. Oia, semoga kamu betah di kampusku. Nanti aku kenalin sama temen-temenku yang lain yang lebih manis dari Yuni” ajak Oka, seperti merubah suasana dan mengajak Febri untuk melupakan yang baru saja terjadi.
“Oh, ok... ayok... ruang berapa ya?” Febri cepat mengiyakan.
Febri yang baru saja meluluskan wisuda Diploma 3-nya. Dan langsung ingin mengambil gelar S1-nya. “nanggung, setahun lagi” katanya. Karena dunia kerja juga lebih banyak mencari lulusan S1-nya dari pada D3-nya. Febri memilih kampus yang selama ini menjadi tempat belajarnya Yuni dan Oka. Banyak pertimbangan sebenarnya. Namun, sepertinya Febri hanya mencari gelar saja.
Febri adalah seseorang yang cukup tampan, dengan kulit putih dan wajah yang bersih. Seseorang yang welcome kepada siapa saja. Seseorang yang ramah dan mudah diajak bicara. Seseorang yang murah senyum. Dan seseorang yang cukup playboy (ini hanya pendapat dari Oka, dilihat dari wajah dan sikapnya yang cukup mudah untuk mendapatkan seseorang perempuan untuk dijadikan pacarnya). Dan salah seorang yang tiba-tiba saja menyukai Yuni hanya dengan sebuah pandangan pertamanya.
Saat itu Oka kebetulan satu kelas dengan Febri dengan beberapa mata kuliah yang kebanyakan sama dengan apa yang diambil oleh Febri. Bagaimana tidak, karena pada saat mau mendaftar, Oka-lah yang menjadi customer service pribadinya. Dengan pertemuannya yang secara kebetulan di parkiran kampus.


 “Kamu kenal dengan Febri Ka? Dia mahasiswa tranfer yang mau nyelesein S1nya disini. Itu lhoh yang bareng sama kamu di parkiran basement tadi pagi” Yuni melontarkan beberapa pertanyaan pada Oka, padahal ia bahkan belum sempat duduk membonceng Oka. Oka juga belum menceritakan apa-apa tentang febri kepada Yuni, pertemuan oka dan febri baru terjadi pagi tadi. Dan Oka juga tidak tau kenapa, sepulang kuliah hari itu. Yuni mendatanginya dengan senyum-senyum kecil.
“Ouw iya, dia teman sekelasku. Ada apa emang?” tanya Oka penasaran
“Ah tidak ada apa-apa kok. Hehee.” balas Yuni sengaja membuat Oka tambah penasaran. Yuni berfikir, mungkin dengan jawabannya itu akan membuat Oka menciptakan pertanyaan-pertanyaan yang akan dengan setia Yuni menjawabnya setelah duduk memboncengnya. Tapi tidak, kali itu sikap Oka berubah dingin.

***

Tidak ada yang mencegah Yuni. Yuni tetap saja masuk ke rumah, bahkan dengan berlari. Oka tidak menghentikan langka kaki Yuni atau mencoba mengejarnya. Ia sangat tau sifat Yuni. Yuni termasuk seseorang yang tidak peduli apapun jika sedang bersedih, ia hanya peduli dengan sepi. Ya, Yuni hanya butuh waktu untuk sendiri jika sedang bersedih. Karena jika Oka melakukan sesuatu hal saja, tangisannya atau kesedihannya itu justru berubah menjadi auman singa afrika. Toh kalo sudah sembuh, dia bakal baikan dengan sendirinya. Tapi saat itu terasa beda, Oka seperti benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa saat itu.

“Mungkin Yuni sudah tau, bahwa saat itu Oka menjelek-jelekan Yuni di depan Febri” Pikir Oka. Dan jika memang itu alasannya. Oka sudah benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Yuni sudah masuk ke dalam rumah. Dan waktu sudah hampir pukul setengah lima sore. Karena pada jam tersebut, kereta akan berangkat menuju Jakarta. Sebelum pada akhirnya Yuni tau alasannya. Oka sudah pergi jauh, untuk waktu yang lama. Ia pindah ke kampus lain di Jakarta, tepatnya Ia tinggal di jakarta. Keluarganya memutuskan untuk tinggal di jakarta setelah Ayah Oka diangkat sebagai kepala di kantor pusat. Entah sampai kapan atau mungkin Yuni tidak akan pernah tau. Bahwa alasan Oka saat itu, Oka hanya ingin tidak ada yang boleh mencintai Yuni selain dirinya. Tapi Yuni tidak pernah sadar.


albumhitam.com
2016
Share:

0 comments:

Post a Comment

Biografi

M.L.A. Mistam Lahir Duapuluh sekian tahun yang lalu. Belajar menulis puisi dan cerita pendek dari tahun 2010. Saat ini sedang menggemari membaca cerita dan menonton DVD. Buku-bukunya yang telah terbit “Yang Kucintai Selain Puisi (2013)”, “Aku Selalu Bisa Pulang (2014)”, “Apabila Denganmu (2015)", “Lelaki Pejuang Kuota (2016)", “Karena Di Dalam Lubuk Hatiku (2017)". Beberapa puisi dan cerpennya pernah diikutkan dalam beberapa buku “Sepasang Sayap yang Menerbangkan Ingatan (2012)”, “Antologi @puisi__cinta (2013)”, “Laut (2013)”, “Kepak Sayap-sayap (2014)” Sampai saat ini masih aktif membaca dan menulis bersama komunitas Banyuasin. Di blognya mohamadlatif.com ia masih suka menularkan rasa keegoisannya. Saat ini sedang sibuk mengerjakan sebuah buku terbarunya.

Hosting Unlimited Indonesia