Wednesday, October 30, 2013

puisi untuk kekasih yang belum jadi kekasih



image taken from here

mungkin ini adalah berjuta kalinya aku
sebagai pemuja rahasia, yang selalu menyembunyikan diri
dengan beberapa cara, yang tak bisa kau duga
dengan sederhana

jika kau tanyakan padaku mengapa
aku akan menjawabnya dengan seribu karena
jika kau tanyakan padaku untuk apa
aku akan menjawabnya sederhana, untukmu

saat itu ingin sekali aku mengantarkanmu pulang
kau membonceng motorku dan duduk di belakang

ketahuilah
ingin sekali kiranya aku
memegang tanganmu dan menyimpannya di dalam saku jaket
lalu menahan tangan itu
dan membiarkannya disana (menahan dingin bersama)

tapi ingin sebenarnya aku
mencintaimu lebih dari cinta yang pernah kau terima
tapi ingin sebenarnya aku
mencintaimu lebih dari hanya sekedar kata-kata
--walau masih belum

Share:

Saturday, October 26, 2013

Korek dan Beberapa Batang Rokok Kretek

picture is taken from here


Tidak ada yang sanggup menanggapi hal ini selain kamu; sebenarnya. Tiap sore yang aku luangkan setiap hari. Dengan beberapa hal yang mungkin kamu ingat. Kebiasaanku sebelumnya, yang selalu mengantarkanmu pulang sekolah ke rumah. Kau selalu mengajakku mampir, untuk sekedar berbincang tentang beberapa hal yang mungkin tidak perlu untuk kita perbincangkan. Tapi aku tak selalu mengiyakan ajakanmu, tidak mungkin setiap hari aku selalu seperti itu. Aku tidak ingin kamu merasa bosan saja. Dengan kebiasaan ini yang akan menjadi kebiasan yang membosakan nantinya.
Aku tidak lupa, dengan ucapan terima kasih Ibumu kepadaku. Saat kau membuka gerbang dan kembali pulang. Ibu selalu tau, bagaimana anaknya telah sampai di depan rumah. Bagaimana tidak, suara knalpot vespa yang tron...tron...tron... selalu membuat berisik gang yang hanya bisa dilewati dua buah motor saja. Ibu selalu melemparkan senyum, seperti aku bayangkan Ibumu melambaikan tangan dan mengucapkan terimakasih secara lirih.


Sore yang menyilaukan, matahari yang akan segera pulang menuju tempat berbeda di sisi yang lain sebelah barat, seakan mengintip kita yang sedang berbincang tentang percakapan sederhana  sore itu. Ditemani sepasang gelas yang penuh oleh syrup rasa melon dan beberapa es batu kotak-kotak. Kau sendiri yang membuatkannya untukku. Bagaimana bisa aku tau? karena kau selalu membicarakannya saat menyuguhkannya kepadaku. Tentu, dengan sebuah senyum malu-malu yang selalu sempat kau sisipkan. Aku selalu bisa menghabiskannya, bahkan 2 gelas sekaligus. Bukan karena kehausan, melainkan karena perkataanmu yang cenderung memaksaku untuk ku habiskan sendiri “kenapa kamu nggak mau ngabisin es syrupnya? enggak manis ya? kalo nggak manis dan nggak mau ngehabisin, mendingan tadi aku nggak usah capek-capek bikinin buat kamu tau gini. Tapi kalo manis, punyaku kamu habisin juga ya?” pilihan yang sangat sulit memang, tapi mau bagaimana lagi, akhirnya sepasang gelas es syrup melon tersebut kuhabiskan sendiri.
Sudah hampir genap tiga setengah tahun. Sejak saat aku mengikuti ujian semester pertama di tempat kuliahku. Dan ini adalah pertanyaan pertamamu, saat aku akhirnya lulus dan mendapatkan pekerjaan. “Sayang, gimana pekerjaan pertamamu? Pasti menyenangkan? Awas ya kalo kamu selingkuh dan bertemen sama cewek-cewek cantik disana. Awas aja kalo kamu nakal” sinis lirikan matanya itu, kulihatnya seperti sebuah senapan laras panjang AK47 yang siap untuk ditarik pelatuknya. Dan door aku merasakan tembakan yang belum sempat ditembakan itu. “Ah jangan menuduh seperti itu, walau itu sebuah peringatan. Tuhan bisa saja menjadikannya doa lhoh...”. percakapan yang memang tidak perlu, terlalu naif mungkin. Ya bagaimana tidak, dalam setiap hubungan. semakin lama hubungan yang dijalani, akan semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak jelas selalu ditanyakan. Misalnya saja, seperti saat aku sedang mengantarkannya pulang minggu lalu. Di tengah jalan, Winda teman perempuan pertamaku yang sekaligus teman satu angkatan ketika kami diterima masuk sebagai pekerja baru disana, mengirimiku sebuah pesan. menanyakan nomor angkutan yang lewat depan kos-kosannya. Maklum, ia adalah orang pendatang. Kota besar seperti ini memang banyak mendatangkan orang, dengan berbagai mimpi-mimpi. Tak terkecuali Winda.
“Sms dari siapa sayang?”.
“Winda, temen kerjaku”
“Cewek ya?”
“Ia”
“Kok cewek bisa tau si nomor hape kamu?”
“-_-“
Mungkin saat itu sore terakhir yang bisa kami rasakan. Entah siapa yang memulai entah siapa yang mengakhiri. Dan entah siapa yang melakukannya. Bukan karena pertanyaan-pertanyaan yang ‘bodoh’ atau bukan karena sepasang es syrup melon yang selalu aku habiskan sendiri. Mungkin karena ini adalah semester terakhir, sebelum ia akhirnya memutuskan mengambil skripsi. Tapi bukan itu.


Sore katanya memang waktu yang romantis, bagi beberapa kalangan—sebut saja penyair—aku menyetujui pernyataan itu. Tapi tidak sepenuhnya aku selalu setuju, karena terkadang ada hal yang selalu sore ceritakan tidak seperti yang kita bayangkan. Hujan misalnya. Aku juga tidak tau kenapa, mengapa setiap sore aku selalu menyempatkan pergi ke atap rumah. menatap sore dari sana dengan diam. Menyaksikan matahari pergi tanpa kata-kata secara perlahan. Dengan ku panjat tangga yang kubuat sendiri dari beberapa batang bambu sisa pembangunan rumah tetangga. Aku selalu tidak lupa dengan korek dan beberapa batang rokok kretek—sesuatu yang tidak kau sukai dariku—lalu  duduk di atas genteng menghadap ke barat, yang sepi, yang silau, yang sunyi, yang menenangkan.
Hujan adalah salah satu alasan, jika pada beberapa waktu aku tak sempat menatap sore. Karena bagiku, kesedihan sudah ada yang mewakilkan. Tidak ada yang bisa dijelaskan dengan rinci. Aku suka sore, tapi aku benci hujan. Menjadi seorang pramuniaga mungkin cara yang salah untuk seorang sepertiku yang sudah sarjana S1. Tapi mau bagaimana lagi. “Ini hanya masalah waktu. Kau hanya perlu menunggu. Sekiranya lama”

Saat itu kau membuka payung, hujan sedang deras-derasnya. Seperti biasa kau mengantarku sampai ke depan gerbang. Suara tron...tron...tron... yang ditilap suara hujan, Ketika aku mulai menyalakan mesin. Membuka percakapan sebelum aku akhirnya pulang “Besok ayah pulang dari Batam, bersama anak temannya yang seorang manajer. Besok dan seterusnya jangan kembali kesini, menjemputku lagi”



Share:

Monday, October 21, 2013

Saturday, October 5, 2013

putri bulan

Putri, sebenarnya sudah lama aku ingin menuliskan puisi untukmu. Namun, aku pernah mendengar dari seseorang. Jika kau adalah putri bulan. Yang hanya muncul di malam hari, dan itupun terkadang. Entah siapa yang memberitahukan kepadaku, mungkin Tuhan. Ya, siapa lagi yang bisa membuat takdir, dan jodoh, dan pertemuan.

Aku adalah dewa. Ya kau benar, aku dewa matahari. Yang selalu tak bisa kau temui kecuali jika sedang gerhana. Malam ini sebenarnya aku ingin sekali mencium keningmu saat kau bermimpi. Dan membacakan puisi ini pada bisikan lembut di telingamu. Tapi tidak mungkin, kau juga tau kenapa. karena aku adalah dewa matahari.

Seekor ayam. Ayam peliharaan pak haji. Suatu pagi. Memberitahukan kepadaku lewat kokokannya, bahwa ia melihat putri menangis di sepertiga malam yang hampir habis. “lalu siapa yang menenangkannya, lalu siapa yang membuatnya menangis, dan lalu siapa yang membuatnya berhenti menangis”. –kehadiranmu dewa
Share:

Biografi

M.L.A. Mistam Lahir Duapuluh sekian tahun yang lalu. Belajar menulis puisi dan cerita pendek dari tahun 2010. Saat ini sedang menggemari membaca cerita dan menonton DVD. Buku-bukunya yang telah terbit “Yang Kucintai Selain Puisi (2013)”, “Aku Selalu Bisa Pulang (2014)”, “Apabila Denganmu (2015)", “Lelaki Pejuang Kuota (2016)", “Karena Di Dalam Lubuk Hatiku (2017)". Beberapa puisi dan cerpennya pernah diikutkan dalam beberapa buku “Sepasang Sayap yang Menerbangkan Ingatan (2012)”, “Antologi @puisi__cinta (2013)”, “Laut (2013)”, “Kepak Sayap-sayap (2014)” Sampai saat ini masih aktif membaca dan menulis bersama komunitas Banyuasin. Di blognya mohamadlatif.com ia masih suka menularkan rasa keegoisannya. Saat ini sedang sibuk mengerjakan sebuah buku terbarunya.

Hosting Unlimited Indonesia