Tidak ada yang
sanggup menanggapi hal ini selain kamu; sebenarnya. Tiap sore yang aku luangkan
setiap hari. Dengan beberapa hal yang mungkin kamu ingat. Kebiasaanku
sebelumnya, yang selalu mengantarkanmu pulang sekolah ke rumah. Kau selalu
mengajakku mampir, untuk sekedar berbincang tentang beberapa hal yang mungkin
tidak perlu untuk kita perbincangkan. Tapi aku tak selalu mengiyakan ajakanmu,
tidak mungkin setiap hari aku selalu seperti itu. Aku tidak ingin kamu merasa
bosan saja. Dengan kebiasaan ini yang akan menjadi kebiasan yang membosakan
nantinya.
Aku tidak lupa,
dengan ucapan terima kasih Ibumu kepadaku. Saat kau membuka gerbang dan kembali
pulang. Ibu selalu tau, bagaimana anaknya telah sampai di depan rumah.
Bagaimana tidak, suara knalpot vespa yang tron...tron...tron... selalu membuat berisik gang yang
hanya bisa dilewati dua buah motor saja. Ibu selalu melemparkan senyum, seperti
aku bayangkan Ibumu melambaikan tangan dan mengucapkan terimakasih secara
lirih.
Sore yang
menyilaukan, matahari yang akan segera pulang menuju tempat berbeda di sisi yang
lain sebelah barat, seakan mengintip kita yang sedang berbincang tentang
percakapan sederhana sore itu. Ditemani sepasang gelas yang penuh oleh
syrup rasa melon dan beberapa es batu kotak-kotak. Kau sendiri yang
membuatkannya untukku. Bagaimana bisa aku tau? karena kau selalu membicarakannya
saat menyuguhkannya kepadaku. Tentu, dengan sebuah senyum malu-malu yang selalu sempat kau
sisipkan. Aku selalu bisa menghabiskannya, bahkan 2 gelas sekaligus. Bukan karena kehausan, melainkan
karena perkataanmu yang cenderung memaksaku untuk ku habiskan sendiri “kenapa
kamu nggak mau ngabisin es syrupnya? enggak manis ya? kalo nggak manis dan
nggak mau ngehabisin, mendingan tadi aku nggak usah capek-capek bikinin buat
kamu tau gini. Tapi kalo manis, punyaku kamu habisin juga ya?” pilihan yang
sangat sulit memang, tapi mau bagaimana lagi, akhirnya sepasang gelas es
syrup melon tersebut kuhabiskan sendiri.
Sudah hampir genap
tiga setengah tahun. Sejak saat aku mengikuti ujian semester pertama di tempat
kuliahku. Dan ini adalah pertanyaan pertamamu, saat aku akhirnya lulus dan
mendapatkan pekerjaan. “Sayang, gimana pekerjaan pertamamu? Pasti menyenangkan?
Awas ya kalo kamu selingkuh dan bertemen sama cewek-cewek cantik disana. Awas
aja kalo kamu nakal” sinis lirikan matanya itu, kulihatnya seperti sebuah
senapan laras panjang AK47 yang siap untuk ditarik pelatuknya. Dan door aku merasakan tembakan yang belum
sempat ditembakan itu. “Ah jangan menuduh seperti itu, walau itu sebuah
peringatan. Tuhan bisa saja menjadikannya doa lhoh...”. percakapan yang memang
tidak perlu, terlalu naif mungkin. Ya bagaimana tidak, dalam setiap hubungan.
semakin lama hubungan yang dijalani, akan semakin banyak pertanyaan-pertanyaan
yang tidak jelas selalu ditanyakan. Misalnya saja, seperti saat aku sedang
mengantarkannya pulang minggu lalu. Di tengah jalan, Winda teman perempuan
pertamaku yang sekaligus teman satu angkatan ketika kami diterima masuk sebagai
pekerja baru disana, mengirimiku sebuah pesan. menanyakan nomor angkutan yang
lewat depan kos-kosannya. Maklum, ia adalah orang pendatang. Kota besar seperti
ini memang banyak mendatangkan orang, dengan berbagai mimpi-mimpi. Tak
terkecuali Winda.
“Sms dari siapa
sayang?”.
“Winda, temen kerjaku”
“Cewek ya?”
“Ia”
“Kok cewek bisa tau
si nomor hape kamu?”
“-_-“
Mungkin saat itu sore
terakhir yang bisa kami rasakan. Entah siapa yang memulai entah siapa yang
mengakhiri. Dan entah siapa yang melakukannya. Bukan karena
pertanyaan-pertanyaan yang ‘bodoh’ atau bukan karena sepasang es syrup melon
yang selalu aku habiskan sendiri. Mungkin karena ini adalah semester terakhir,
sebelum ia akhirnya memutuskan mengambil skripsi. Tapi bukan itu.
Sore katanya memang
waktu yang romantis, bagi beberapa kalangan—sebut saja penyair—aku menyetujui
pernyataan itu. Tapi tidak sepenuhnya aku selalu setuju, karena terkadang ada
hal yang selalu sore ceritakan tidak seperti yang kita bayangkan. Hujan misalnya.
Aku juga tidak tau kenapa, mengapa setiap sore aku selalu menyempatkan pergi ke
atap rumah. menatap sore dari sana dengan diam. Menyaksikan matahari pergi
tanpa kata-kata secara perlahan. Dengan ku panjat tangga yang kubuat sendiri
dari beberapa batang bambu sisa pembangunan rumah tetangga. Aku selalu tidak
lupa dengan korek dan beberapa batang rokok kretek—sesuatu yang tidak kau sukai
dariku—lalu duduk di atas genteng menghadap ke barat, yang sepi, yang
silau, yang sunyi, yang menenangkan.
Hujan adalah salah
satu alasan, jika pada beberapa waktu aku tak sempat menatap sore. Karena
bagiku, kesedihan sudah ada yang mewakilkan. Tidak ada yang bisa dijelaskan
dengan rinci. Aku suka sore, tapi aku benci hujan. Menjadi seorang pramuniaga
mungkin cara yang salah untuk seorang sepertiku yang sudah sarjana S1. Tapi mau
bagaimana lagi. “Ini hanya masalah waktu. Kau hanya perlu menunggu. Sekiranya
lama”
Saat itu kau membuka
payung, hujan sedang deras-derasnya. Seperti biasa kau mengantarku sampai ke
depan gerbang. Suara tron...tron...tron... yang ditilap suara hujan, Ketika aku
mulai menyalakan mesin. Membuka percakapan sebelum aku akhirnya pulang “Besok
ayah pulang dari Batam, bersama anak temannya yang seorang manajer. Besok dan
seterusnya jangan kembali kesini, menjemputku lagi”