Thursday, November 14, 2013

#5Bukudalamhidupku | Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia

Title : Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Author : Taufiq Ismail
Penerbit : Yayasan Indonesia
ISBN : 979-8424-04-2

Indonesia. Adalah negara kita yang kaya. Kaya akan segalanya. Karena kita punya, maka kita kaya. Indonesia adalah negara yang makmur. Karena kita punya, maka kita makmur. Indonesia, Indonesi, Indonesia riwayatmu kini. Aku sering, sekarang-sekarang ini mendengarkan lagu-lagu nasional sendirian. Dengan iringan musik asli. Atau tanpa instrumental apapun.
Tanah air-ku tidak kulupakan
kan terkenang selama hidupku
Biarpun sayang, pergi jauh
Tidakkan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau ku hargai

Walaupun banyak negeri ku jalani
Yang mashur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Disanalahku terasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau, kubanggakan

Indonesia adalah negara tercintaku, Indonesia adalah negara yang damai, dan Indonesia adalah negara yang lain sebagainya. Sayang, entah tahun berapa aku alami. Indonesia benar-benar bisa dibanggakan dari segala aspeknya. Dan pernahkah kalian berfikir, apa kalian tidak pernah sekalipun saja, ingin memajukan indonesia dan membanggakannya? Hidup bukan Cuma sekedar hidup saja. Kalian punya lingkungan, kalian punya teman, dan kalian punya rumah. Apa kalian tidak merasa malu negara kalian—Indonesia—tidak pernah maju? Hutang yang semakin banyak, pula koruptor yang takkan pernah kenyang makan uang kalian sendiri?
Indonesia bukan hanya rumah. Yang dengan seenaknya saja kalian tinggali. Indonesia juga perlu perlakuan yang baik. Indonesia juga butuh kasih sayang. Tapi kalian banyak memanfaatkannya. Kekayaan, keberagamaan, kebudayaan, dan masih banyak yang lainnya. Justru kalian jual dengan berbagai macam cara dan bentuk.
Jika seorang penyair saja malu, harusnya sebagai orang-orang biasa. Atau masyarakat pada umumnya, juga kalian harus lebih malu. Indonesia takkan pernah merdeka, jika orang-orangnya tetap egois dengan kesenangan dan dunianya sendiri.
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Seratus puisi Taufiq Ismail. Adalah buku ketiga yang merubah hidupku. Ya walau aku tak mempunyai buku tersebut, karena buku tersebut milik negara dan tidak untuk diperdagangkan. Aku suka buku tersebut, aku sering meminjamnya di perpustakaan SMA dulu. Setelah aku membaca kumpulan sajak Sapardi, sejak itu aku mulai membaca puisi-puisi lain. Termasuk buku puisi Taufiq Ismail ini. Sebulan sekali, aku selalu meminjam buku tersebut. Hanya untuk dibaca-baca dan mengerti lebih lanjut tentang kata-kata yang hendak disampaikan penulis. Aku tak suka dengan denda, maka dari itu aku selalu mengembalikannya tepat waktu, walau waktu peminjamannya hanya dua hari. Maka dari itu pula, dengan adanya jangka waktu, aku meminjam buku tersebut di bulan berikutnya. Karena membaca di perpustakaan selalu tak tenang, ruang perpustakaannya memang sepi. Hampir tidak ada yang berbicara. Tapi diluar ruangan perpustakaan berhadapan dengan lapangan upacara, yang biasanya dijadikan lapangan sepakbola mini—atau jaman sekarang biasa disebut dengan futsal—yang gawangnya dibuat dari beberapa sepatu yang ditumpuk. Memang, jaman SMAku dulu adalah jaman yang sangat menyenangkan.
Untuk membaca sebuah buku. Biasanya aku tak langsung membuka lembar demi lembar halaman isi. Tapi aku lihat dari sebuah judul bukunya. judulnya menarik, bikin penasaran orang untuk membacanya. Kata pembukanya pun menambah bikin penasaran setiap orang yang akan membacanya.
Pada buku ini, Taufiq Ismail aku baca sebagai penyair yang sangat sekali peka dengan sejarah. Kata-katanya sederhana, namun sarat sekali makna. Puisi-puisinya aku lihat sebagai protes dan rasa malunya tentang negara ini. Gaya penulisannya-pun cukup menarik. Ia misalkan sebagai kehidupan aslinya, atau ia misalnya dengan hal-hal yang sejajar. Namun selalu, penuh kritik dan protes. Banyak sebenanrnya yang diangkat Taufiq Ismail dalam buku ini, kesenjangan, kekecewaan, penindasan, pemerintahan, politik, kemiskinan, diktator, pokoknya hampir segalanya tentang kritik dan protes. Penulis—dalam buku ini—sepertinya lebih banyak menggunakan teknik narasi atau bercerita pada puisi-puisinya. Dari puisi, penulis mencoba jadi pendongeng yang khawatir, yang cemas, yang takut, yang melawan, yang berani. Tapi tidak sedikit puisinya juga jenaka, dengan sindiran-sindiran yang bagiku ngena jika sebagai orang yang dituju ikut membacanya. Demikian buku ini, aku nilai pribadi sebagai buku yang mewakilkan perasaan masyarakat Indonesia pada waktu itu—orde baru.
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Dan semoga nanti, jika Indonesia tumbuh menjadi tanah air yang sebenar-benarnya tanah air. Indonesia kaya, makmur, damai, sejahtera, rukun, adil dan lain sebagainya yang sebenar-benarnya. Mungkin saat itu aku membuat buku puisi kelanjutan dari buku puisi ini. Dan akan aku buat judulnya satu halaman penuh, agar pembaca bisa langsung tau. Kita memang harus bangga—“Bangga (Aku) Jadi Orang Indonesia”

Mohamad Latif Afadyra 14 November 2013
Share:

0 comments:

Post a Comment

Biografi

M.L.A. Mistam Lahir Duapuluh sekian tahun yang lalu. Belajar menulis puisi dan cerita pendek dari tahun 2010. Saat ini sedang menggemari membaca cerita dan menonton DVD. Buku-bukunya yang telah terbit “Yang Kucintai Selain Puisi (2013)”, “Aku Selalu Bisa Pulang (2014)”, “Apabila Denganmu (2015)", “Lelaki Pejuang Kuota (2016)", “Karena Di Dalam Lubuk Hatiku (2017)". Beberapa puisi dan cerpennya pernah diikutkan dalam beberapa buku “Sepasang Sayap yang Menerbangkan Ingatan (2012)”, “Antologi @puisi__cinta (2013)”, “Laut (2013)”, “Kepak Sayap-sayap (2014)” Sampai saat ini masih aktif membaca dan menulis bersama komunitas Banyuasin. Di blognya mohamadlatif.com ia masih suka menularkan rasa keegoisannya. Saat ini sedang sibuk mengerjakan sebuah buku terbarunya.

Hosting Unlimited Indonesia