Sunday, November 23, 2014

Thursday, August 7, 2014

Aku Ingin Sekali Mengatakannya

aku terlalu egois
dengan perasaan yang pengecut ini
pintu yang kemarin hanya aku tutup
tanpa pernah aku lupa kunci
dibukakan olehmu
tanpa rasa lebih

aku tak pernah berpikir sebelumnya
bagaimana cara untuk bisa menyimpulkan
sesuatu yang bahkan tidak pernah aku lalui
lewat senyumanmu

aku jadi teringat
tentang segelas mochacinoo
di bangku bambu
kita menyaksikan foto-foto dengan tawa
dan saling mengejek video-video sederhana
dengan amat sangat bahagianya

tapi waktu justru sangat terlalu
untuk aku ketahui
sebagai jalan pulang yang paling cepat

aku jadi teringat
tentang sepiring tahu kupat
kita pertama kali makan berdua disana
walau dengan skenario yang rumit
aku sangat menyukainya
senyumnya...
rapi gigi geliginya...
matanya...
pandangannya...
semuanya... semuanya...

tapi waktu juga justru sangat terlalu
untuk aku ketahui
sebagai jalan pulang yang paling cepat

aku merasa akan banyak bulan bahkan tahun
(setelah kau tau bagaimana sekecil kutu
bisa hidup dan tak mati-mati di kepalaku)
menghabiskan dengan segala masalah-masalah
konflik-konflik
tangisan-tangisan
kesenangan, kedamaian, kesejukan
perhatian, segala tentang kepedulian
apapun itu
segalanya sampai habis bersamamu

sebelumnya
aku hampir putus apa
aku tidak lagi mau untuk kehilangan yang berikutnya
tapi aku memang sudah terlalu jatuh cinta
lalu aku umumkan

Untuk segala keterbatasanmu
Untuk segala kesedihanmu
Untuk segala hal atau sesuatu
Untuk segala yang bahkan belum pernah kau lalui
Aku ingin menjadi waktu
yang detikkannya sama,
seperti detak di dalam jantungmu






Share:

Tuesday, June 3, 2014

Kukunci Kamarku (2)

picture is taken from here


aku dikabarkan seekor kepulangan burung dara
di kakinya terselip selembar kertas
kertas itu kosong
hanya berisi hantu-hantu yang tak kasat mata
mencoba menghiburku tentu
dengan cekikikannya

dua jam yang lalu
tidak, bahkan bisa lebih dari yang kau baca barusan
dengan sebuah gitar di pelukku
dan beberapa kunci yang tiba-tiba saja
membuatku amnesia
-aku tak ingat akan menyanyikan lagu apa

hujan, lagi-lagi hujan
hujan di pikiranku
entah jatuhnya dari mana
semuanya mengalir dan membuat sungai di pipiku

sepasang sayap lalu tiba-tiba mendarat di muka
tanpa tubuh dan sepasang matanya
ia habis terbunuh, ditembak oleh tentara bayaran
lalu tiba-tiba sayap yang kiri lepas dahulu
dan yang kanan kemudian
di kakiku, aku lihat diriku
menunduk sendirian
-pelangi tak muncul, aku kembali memejamkan mata

aku dikabarkan oleh seekor kepulangan burung dara
jika awan-awan hitam yang datangnya dari selatan
tidak akan menurunkan hujan disini
mereka hanya lewat
mendengarkan apa yang tidak berdegup di jantungku
sampai sepuluh menit yang lalu, aku berfikir
kau tidak akan tau
bagaimana kesepianku



Share:

Monday, June 2, 2014

Kukunci Kamarku

tidak ada yang dapat tumbuh di pikiranku
semuanya hilang setelah berpuluh-puluh lingkaran jam dinding
mendapatiku tetap berada tak jauh dari batas tutup kelopak mata

sebuah gitar yang diam
dijatuhi hujan-hujan yang tak menetes
satu jam lagi genap dua puluh empat
secangkir kopi tak pula habis termakan waktu
ingin sekali aku berlari
ke arah mana saja
yang jelas bukan jalan raya
karena seringkali aku tersesat disana

lalu kutulis sebuah sajak
-seperti ini
di halaman belakang yang tak terlihat
dari tamu-tamu yang berdatangan
sebab, mereka hanya mengerti
sebuah manis dari teh gelas dengan pemanis buatan

seseorang
setiap orang
semua orang
berpendapat, cinta memang begini
menggerus pasir pantai yang diam
dibawa jauh-jauh ke dasar tenggelam

tidak ada yang tumbuh di pikiranku
mataharipun enggan untuk tau
juga bulan yang belum sepenuhnya utuh
kau hanya tersenyum di balik kerah baju
-aku ingin bunuh diri saja

beberapa buku telah kuselesaikan
aku makan tiap lembarnya
aku bakar tiap kalimatnya
mereka habis hampir dua puluh empat
berkali-kali lipat
-tidak ada yang mendapatiku

Share:

Friday, April 18, 2014

Akhirnya Kau Datang Juga

picture is taken from here


aku ingin kita berada
di penghujung waktu dua belas
hujan merambat naik kemudian
bersama kangen yang baru saja pecah

lirik detik di jam tanganmu
tak secepat detak di dalam dadaku
mereka kembali
satu-persatu
dengan dan atau tanpa seluruh tubuhnya

malam bersama sebuah teras dan sebuah bangku
di rumahku yang tak rumahmu
dan sebentar lagi hujan naik
bersama kepulan-kepulan asap kesepian
yang lambat laun
kian tahun menjadi awan

satu dan beberapa kali letupan
petasan-petasan yang meledak di bayangan
memberitahukanku
beberapa pesan yang masih belum sempat kau balas

aku juga tak tau
mengapa aku seperti ini
lingkaran hitam di kedua mataku
tak sempat berpaling menatap layar handphone

satu jam hingga beberapa hari
satu teguk hingga beberapa gelas
juga beberapa ratus cerpen
yang kubaca hingga berulang kali
meskipun sudah aku tamatkan dengan judul yang sama

tuhan, jangan pernah kau ambil ingatanku
aku ingin mengingat semuanya
yang sakit atau yang menyakitkan
yang duka dan selalu bersahabat dengan air mata
juga sebuah malam dimanapun itu
ketika kau selalu memberikanku wahyu
untuk tidak pernah berpaling
untuk selalu menunggu

oh, lalu tiba-tiba ia muncul seketika
meminta untuk bersandar di salah satu pundakku
memelukku dengan salah satu tangannya
dan menciumi bau keringatku yang ia suka

ketika subuh jatuh di telingaku
ketika hujan tak jadi naik ke atas-atas
kau selalu saja membuatku
untuk mencintaimu penuh tanpa rasa ragu-ragu

Share:

Tuesday, April 15, 2014

Friday, March 7, 2014

Beberapa tentang kata-kata dan suara

bagaimana jika kata-kata dan suara di dunia ini menghilang
mungkin hanya dengan pelukan, seseorang akan tau bahwa ia benci kesendirian
mungkin hanya dengan diam, seseorang akan tau bahwa cinta memang tak harus berkata-kata

bagaimana jika kata-kata dan suara di dunia ini menghilang
mungkin tidak ada rasa takut atau rasa cemburu yang bisa diungkapkan
mungkin tidak ada rasa sayang dan cinta yang bisa kita tau
selain dengan diam dan sebuah pelukan









Share:

Sunday, February 23, 2014

Ada Sesuatu yang Hendak Saya Katakan Kepada Kau




sebelum kata 'terimakasih'. ijinkanlah saya mengucapkan 3 hal kepada kau

1. senyuman
sudah lama saya berada. bukan di sebelah mana-mana. tapi tenggelam di dasar paling dalam. lengkung senyuman kau yang selalu saja membuat saya terpeset disana. dan bukan sebagai apa-apa. saya juga tidak tau, entah mengapa senyuman itu (senyuman kau) selalu saja membuat saya terbang walau saya tak memiliki sayap. banyak hal yang masih belum kau tau tentang kerapuhan saya ini ketika melihat senyuman kau. banyak hal yang masih belum kau tau tentang kelumpuhan saya ketika kau menatap saya sambil tersenyum seperti itu. Dan ijinkanlah saya membuat pernyataan yang bunyinya seperti ini. 'Bahwa tidak ada yang mampu menghipnotis saya, seperti kau. apalagi dengan senyuman yang selalu kau berikan itu'

2. mata
saya sangat suka pada kedua mata kau, selain senyuman itu. apalagi saat mata itu tepat melihat ke mata saya yang kosong, apalagi saat mata itu tepat memperhatikan saya diam-diam. sebenarnya saya sedikit tak suka melihat kau menangis. karena saya lebih suka melihat mata kau tertutup oleh kedua kelopak mata yang bulu matanya masih panjang-panjang, ya kau terlihat lebih manis daripada harus menangis. dan ya, saya lebih suka seperti itu. maka untuk kedua kalinya, hal kedua ini membuat saya kembali jatuh cinta

3. unknown
saya juga masih tak tau. saya tak bisa menjelaskannya entah itu apa. yang pasti, sesuatu yang belum bisa saya sebutkan disini. sudah benar-benar membuat saya yakin menjatuhkan cinta kepada kau

terimakasih

Share:

Monday, February 3, 2014

Untuk Amal


Anggap saja aku ialah seseorang yang baik selama ini, selama hidupmu—hidup kita. Mungkin benar katamu. Kesedihan diciptakan karena adanya kebahagiaan. Tapi bukan semata-mata kita tidak boleh bersedih—menangis—karena kebahagiaan itu terlalu sangat dirasakan olehmu. Karena kesedihan bukanlah suatu penyakit. Yang dimana kau selalu merasa tersakiti—apapun itu, entah perasaan, hati, jiwa, dan dunia. Tapi, ketahuilah. Aku ingin sekali kau berhenti menangis. Sebentar saja, selama hidupku.
Entah aku-pun juga tidak tau. Kau selalu saja menganggap dirimu adalah orang yang tidak cengeng—gampang menangis—tapi aku selalu saja memergokimu menangis ketika dalam keadaan yang tidak biasa. Bahkan tangisanmu itu selalu saja terlalu gugup, terlalu mengambil nafas yang dalam setiap detiknya. Apalagi dengan air mata yang sudah menjebol bendungan di kelopak matamu, juga ingus yang sering kali kau hapus—tentu dengan apa saja, ditambah jika kau sedang menangis begitu hebatnya.
Kau selalu saja menganggap dirimu adalah orang yang tidak cengeng. Tapi kenyataannya tidak.
Aku juga tak mengerti apakah perempuan sepertimu, atau memang kebanyakan perempuan seperti ini—menangis, menangis, dan menangis. Mungkin menangis adalah hal wajah bagi kebanyakan perempuan. Mungkin juga bagi mereka yang berperasaan berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Yang cenderung mempunyai hati yang tidak keras(mudah tertusuk dan terluka). Kata sebagian dari mereka, menangis itu ‘Melegakan’. Aku sendiri tidak terlalu paham dan tidak terlalu mengerti. Sebagai laki-laki, aku tentunya, mungkin menangis adalah hal yang aneh. Tapi tidak berarti laki-laki itu tidak boleh menangis.
Menangis memang tak melulu disangkut pautkan dengan air mata. Air mata mungkin bagiku, hanya cara mengeluarkan rasa tangis dan sedih tersebut. Entah bagaimana kau menilainya, entah itu salah atau benar. Tapi bagiku kau memang terlalu cengeng. Untuk hal-hal yang aku anggap biasa, dan kau anggap tidak biasa. Ya mungkin karena kita berbeda gender. Tapi sudahlah, kehidupan sudah merancang sistem yang sudah seperti itu.
Amal, aku juga sebenarnya tak menginginkan apapun terjadi. Dalam konteks yang tidak pernah kau minta—dan aku juga minta. Namun Tuhan memang lebih kuasa dari apapun, dari segalanya. Tapi untuk apa kau selalu menyambutnya dengan tangis. Bukankah aku selalu tersenyum kepadamu? Dan bahkan aku tak pernah menunjukan rasa sedihku sedikitpun kepadamu? Tapi mengapa kau selalu menangis? Aku hanya berdarah saja, bahkan hanya di pergelangan tangan kiriku, dan bukan di kepala. Aku hanya ingin mati waktu itu, tapi kau terus menangis. Aku hanya ingin merasakan sakit yang paling sakit, agar aku tak merasakan sakit lagi. Tapi kau terus saja menangis.
Aku tau kau memang pemalu. Tentu, apalagi dengan cengengmu itu. Padahal aku belum sempat menceritakan beberapa hal kepadamu—tentangku—tapi kau sudah menangis terlebih dahulu. Amal, mungkin benar katamu. Cinta tak selalu saja tentang kasih sayang dan semacamnya. Cinta juga butuh sesuatu yang lain. Dan saat itu aku setuju, bahkan setuju sekali. Baru pernah seseorang sepertimu menjelaskannya kepadaku. Aku tak tau masalah cintamu, tapi kau selalu saja tau—ingin selalu mencari tau—tentangku. Entah orang macam apa kau ini, ingin mencari tau segala sesuatu yang aku lakukan. Apa karena rasa sayangmu? Entahlah, tapi semoga saja memang benar. Karena saat ini aku sedang meng-aamiin-kannya.
Amal, aku hanya ingin mati, tapi kau terus saja menangis. Aku hanya ingin merasakan sakit yang paling sakit, agar aku tak merasakan sakit lagi. Tapi kau terus saja menangis. Semoga kau masih ingat kata-kataku tadi. Ya, yang kita bicarakan waktu itu. Kau bahkan mengetahuinya bukan? “Biarkan saja luka ini begitu berdarah, begitu menganga. Walau bukan aku sendiri yang melukainya. Karena kau tau, ini akan mengakhiri segala sakitku” tapi kau terus saja menangis, padahal aku sudah tak melakukan apapun lagi (hanya menenangkanmu). Dan herannya aku, saat itu kau tak mencegahku untuk melakukan apapun. Kau hanya bisa menangis. Amal yang cengeng. Sangat cengeng.
Amal, Apakah kau takut darah? Apakah kau takut aku ini terluka begitu parah? Aku tak pernah melihatmu menangis sehebat itu, aku tak pernah melihatmu menangis sebahaya itu. Kau memang cengeng, sangat cengeng. Hingga akhirnya kau berhenti menangis. Saat aku sudah benar-benar tak bisa lagi menenangkanmu, sekarang. Untuk waktu yang sudah aku tinggalkan.







Share:

Bagaimana Kesedihan yang Sebenarnya



mungkin kau tak pernah merasakan bagaimana kesedihan yang sebenarnya
sampai-sampai kedua mataku sudah tidak tahu lagi caranya untuk mengeluarkan air mata

kau tiba-tiba datang dari arah utara
menantiku dari kejauhan dengan penuh rasa duka
aku menujumu dengan tak berlari, dengan tak tergesa
—dan apakah kau mengerti kesedihan itu seperti apa?

mungkin kau tak pernah merasakan bagaimana perasaan yang sebenarnya
sampai-sampai sepasang bibir ini tiba-tiba diam tak menimbulkan suara

waktu selalu saja seperti ini
selalu saja, selalu saja
membiarkan yang jatuh tetap ke bawah
ke bawah, ke bawah hingga terbentur tapi tak berdarah

langit juga tau sebelumnya
beberapa hujan telah turun deras 
dan sepasang mataku yang telah lahir
beberapa tetes air mata yang tak terlihat di pekat kabut

aku ingin membuka tubuhmu sebenarnya
dari sunyi air terjun di salah satu pasang mata
aku ingin membenamkan kepala di pundakmu
sebagai gelisah, cemas, atau apa saja
(kau masih melapangkan tangan, dan membuka dada)—hanya

mungkin memang kau tak pernah merasakan bagaimana yang sebenarnya










Share:

Sunday, January 19, 2014

Ketika Pagi Begini

     
picture is taken from here

    Ketika pagi begini. Saya ingin mengucapkan sebuah terimakasih kepada telinga kanan kau. Membisikannya penuh lembut kepada kau. Yang dimana saat itu kita sedang menatap langit-langit kamar yang laut, yang selalu saja membuat kita tenggelam sesaat sebelum kita sama-sama tertidur.

tidak. biasanya saya yang terlebih dahulu tertidur, Kau selalu mengusapkan tangan kau dengan lembut ke tangan saya. Mengisi ruas-ruas jemari saya yang dingin, dengan penuh kehangatan. Mungkin kau terlalu paham bagaimana udara tadi siang begitu berisik, dan bagaimana sepasang tangan saya yang tak lelahnya memberi kabar kepada kau lewat berjuta-juta pesan singkat. Saya selalu menyuruh kau untuk tidur terlebih dahulu, dengan ciuman saya di kening kau. Kau itu sungguh sangat terlalu manis, saya selalu membayangkan senyuman kau, kapanpun, dimanapun (apalagi jika saat seperti ini). Senyuman kau itu yang selalu saya anggap paling menghipnotis diri saya selamanya. Kemudian kau memejamkan mata sebentar. Setelah itu kita saling menangkap mata kita yang tiba-tiba basah air mata.

Ketika pagi begini. Kau selalu merengkuh tubuh saya dengan sangat eratnya. Saya tau, kau terlalu lemah untuk sebuah dingin (saya-pun juga). Dan saya balas rengkuhan itu dengan melingkarkan tangan saya ke pinggang kau. Padahal selimut kita sudah cukup tebal untuk menghalau dingin, tapi saya tidak mengerti mengapa ketika kau tidur, Kau selalu melepaskannya dan menggantinya dengan tubuh saya. Saya tak suka dengan cara kau memperlakukan saya. Krena yang lemah untuk sebuah dingin itu saya, bukan kau. Saya juga ingin memeluk tubuh kau terlebih dahulu, lalu kau membalasnya. Tapi tidaklah apa. Bagaimanapun juga, saya menyukai apapun dari kau, ya! apapun itu. Dan harus perlu Kau tau, setiap malam saya selalu suka melihat senyum kau saat tertidur (saat memeluk saya, seperti ini; mungkin kau sedang bermimpi indah). Bagi saya, itu adalah senyuman paling polos, senyuman paling tulus dan senyuman paling unik yang tidak dimiliki perempuan manapun selama saya bersama kau. Ijinkan saya memiliki senyuman kau.

Ketika pagi begini. Saya tak ingin menyingkap tubuh kau, Saya ingin terus merasa hangat dan tidak merasa sendiri. Tapi tiba-tiba pagi tenggelam, lalu kau selalu menangisi saya sebagai sebuah nisan yang berlumut.


2014
albumhitam.com






Share:

Saturday, January 18, 2014

Pada waktu hujan turun. Di sebuah jalan raya yang sepi kau membicarakan sesuatu di telingaku sambil melingkarkan tanganmu di pinggangku secara erat


picture is taken from here

Tidak lagi ada yang ditakutkan oleh sebuah kecemasan
Tidak lagi ada yang dicemaskan oleh sebuah kekhawatiran
Tidak lagi ada yang dikhawatirkan oleh sebuah ketakutan

Terimakasih, semoga semesta ikut meng-aamiin-kan





Share:

Tuesday, January 7, 2014

Cintailah Aku, dengan Sengaja

picture is taken from here

“Pernah ngebayangin nggak, kita yang sama-sama dicap gonta-ganti pacar. Pada akhirnya kita itu nikah, yang nantinya kamu jadi istri aku, aku jadi suami kamu”

“Helooo, mikir apaan kamu Mat. Atau jangan-jangan kamu lagi kesurupan? Hadaw, disini nggak ada dukun sunat Mat. Heloo...heloo... Nikah dari Hongkong. Lagian itu kan ulah mereka aja yang syirik sama kita Mat? Udah ah cuekin aja. Kaya biasanya kamu selalu cuekin aku kalo lagi sama Rara”

“Hahahaa... bener dugaanku. Jawabanmu nggak jauh beda dari tebakan aku tadi. emang bener kata orang, Kamu orangnya memang gampang ditebak. Apalagi dengan tempat bedak kosong yang selalu kamu bawa. haha dasar kaca!!!”

Warkop (warungkopi) di pelataran ruko pinggir jalan yang sudah mulai tutup. Adalah salah satu tempat yang biasa, atau bahkan terlihat kumuh bagi kebanyakan orang, atau bagi para abg-abg labil yang kerjaannya cuma update status nggak jelas. Tapi terkecuali bagi mereka berdua. Rama dan Rum, yang sudah sahabatan semenjak mereka saling ejek di sekolah dasar. Mereka selalu saja menganggap warkop adalah tempat yang asik dan ‘bebas’. Mereka selalu bisa tertawa sepuasnya, saling ejek satu sama lain. Tanpa harus melihat sekeliling yang dipenuhi orang-orang yang sedang berbelanja di mall. Atau tanpa harus melihat sekeliling yang dipenuhi orang-orang sedang melumat sphagetty dan semacamnya. Atau tanpa melihat bon yang nggak pernah bersahabat dengan imam bonjol-imam bonjol yang berderet rapi di dompet. Bagi mereka, hidup itu nggak selalu ribet dan jaga sikap. Hidup bagi mereka berdua itu bebas, bebas untuk memilih dan memutuskan, bebas untuk tertawa tanpa larangan, bebas untuk menangis kapan saja, bebas untuk menjadi apa saja yang belum pernah dipikirkan. Tapi bukan berarti mereka nggak punya prinsip sama sekali.

Prinsip itu ibarat sendok, alat untuk mengaduk kopi panas di warkop. Tapi bukan berarti kita nggak bisa mengaduk kopi dengan hanya menggunakan sendok saja. Kita masih bisa mengaduknya dengan bungkus kopi yang baru saja dimasukan ke dalam gelas, lalu digulung-gulung menyerupai dadar gulung. Dan rasanya juga manis, tergantung seberapa banyak kau masukan gula, atau tergantung seberapa banyak adukan yang kau aduk dengan bungkus kopi itu. Tapi bukan ini maksudnya. ini hanya ibarat, hidup tanpa prinsip boleh-boleh saja. Tapi apa kau mau di aduk dengan sebuah bungkus kopi? Sedang hidup ini ialah kopi itu sendiri.

Rama dan Rum selalu setia sama pasangan masing-masing. Walau ujung-ujungnya putus juga. Tapi mereka punya prinsip, bahwa setiap kali mereka pacaran, mereka anti selingkuh!. Walau banyak teman mereka, menganggap mereka adalah seorang player. Sebenarnya tidak juga. Mereka itu termasuk orang yang cepat move on Mereka selalu saja cepat mendapat pasangan lagi setelah putus, apalagi dengan paras mereka yang cukup lumayan. Bukan semata-mata ingin menunjukan bahwa diri mereka seorang player, mereka hanya tidak ingin sakit hati saja dan mengingat-ingat masa lalu. Maka dengan berpacaran—jatuh cinta lagi—membuat mereka berhasil move on

“Cinta itu selalu ribet, ya gak sih Mat?”

“Kenapa Ca? Putus lagi? Halah, lagian kamu juga kan yang mutusin dia. Udah diminum dulu tuh kopinya. Takut dingin”

“Ini bukan masalah siapa yang mutusin. Ini masalah rasa. Apa kita akan kaya gini terus ya Mat? Ngejalanin cinta yang emang cinta, tapi malah ujung-ujungnya cuma sementara aja dan nggak berlangsung lama. Apalagi dengan kata-kata temen yang nggak ngenakin kaya gitu. Kita kan cuma lagi cari pasangan yang tepat dan bener-bener nyaman. Ya gak sih Mat?”

“Hahaa, mulai dah curhat colongannya. Tapi ini udah hampir jam 10 malem. pulang aja yuk... aku juga nggak enak nyuri anak orang sampe malem gini”

“Ah nggak asyik kamu Mat, bisa nggak si nggak ngalihin pembicaraan. Kaya kamu nggak tau Ibu aku aja. Dia kan tau kamu Mat. Secara udah dari SD kita temenan. pasti Ibu percaya lah sama kamu. Kalo kamu bakal jagain aku dan nggak nggak berani macem-macem. Udah pesen kopi satu lagi aja dulu, aku pengen cerita nih. Mumpung lagi sama kamu juga Mat” tawar Rum kepada Rama dengan sedikit berharap

“Okedeh.. tapi ntar kalo akhirnya aku dimarahin. kamu yang jelasin semua ya? Dan nggak pake acara nangis-nangis segala. ok” Rum tidak pernah menangis di depan Rama, apapun alasannya. Jika Rum punya suatu masalah, ia akan cerita dengan tenang dan tanpa air mata. Karena ia tau, Rama sangat tidak suka dan tidak ingin melihatnya menangis tepat di depan matanya. Dan jika saat itu terjadi, Rama akan berubah seperti seorang polisi yang siap menembakan pistolnya kepada siapa saja yang ia anggap sebagai penjahatnya. Tentu, Ia akan sangat marah.

“Iya, iya Mamatku. Eh, kita udah jarang ya ngalamin kaya ginian. Apalagi semenjak masuk kampus. Kita terlalu sibuk sama pacar masing-masing. Selama puluhan tahun sahabatan, kamu tau nggak si, kita nggak pernah ada bosennya ya? Dan kamu nggak sama sekali ngerubah sikap kamu satu pun sama aku. Selalu aja ‘ngrocos’ dan cerewet seperti biasanya. Nggak ada yang bisa kamu sembunyiin, kamu selalu terbuka sama aku. Makanya aku juga gitu sama kamu. Biar kita sama. Ya nggak si?” pukau Rum pada Rama. mereka sekarang memang sudah terlihat jarang nongkrong di warkop. Yang dulu, sebelum akhirnya mereka fokus ke skripsi, mereka selalu saja hampir tiap hari menyempatkan diri. Minum kopi bersama di warkop bang Jiwan di pinggir jalan sudirman.

“Bang Jiwan. Kopi kereta api dua lagi ya bang. Jangan panas-panas cukup anget aja, kaya biasanya ya bang. biar bisa langsung diminum gitu. Ini si Kaca katanya mau nginep disini. Haha.”

“Siap mas Rama!! laksanakan!!” balas bang Jiwan

“Ah udahlah nggak usah ngebahas kaya gituan. Udah kamu mau cerita apa? Pacar kamu yang baru aja kamu putusin itu?” Rama kembali pada percakapannya dengan Rum, sambil mengambil sepasang cangkir kopi yang baru dibuatkan bang Jiwan. Dan mengambil beberapa tusuk sate kulit dan sate usus, kesukaan mereka berdua sebagai bahan cemilan.

“Iya Mat” Rum menyenderkan kepalanya di pundak Rama. sambil dimakannya sate kulit kesukaan Rum. Rama balas sandaran itu dengan melingkarkan tangannya di pinggul Rum dari belakang. Suasana mungkin mulai terasa romantis. Dengan di mulainya dialog yang mulai terfokus. “Randi itu ternyata sama kaya cowok-cowok lain mat. Tapi bukan brengseknya. Dia nggak brengsek kok mat, dia baik. Baik banget malah. Tapi yang paling aku nggak suka dari dia dan cowok-cowok lain yang pernah aku pacarin. Dia itu sama-sama selalu ikut-ikutan, nggak punya prinsip dalam hidupnya. Cakep si, tapi nggak pernah fokus sama hidupnya sendiri. Cuma bisa ngikutin yang lagi trend aja. Gimana bisa nanti kedepannya, kalo berjalan di jalannya orang lain.”

“Maksud kamu Ca? dari pernyataan kamu. aku masih belum ngeh ngedengernya”

“Nyaman itu bisa kita dapetin dari siapa aja, bener nggak sih Mat? Tapi bagi aku, nyaman itu nggak bisa—segitu gampangnya—didapetin dari siapa aja. Cuma ada orang tertentu yang bisa ngebuat aku nyaman. Seperti pacar-pacar aku yang sebelumnya. Tapi aku binggung kenapa diantara mereka nggak ada sekalipun yang punya prinsip. Paling nggak ngelakuin hidup itu bener-bener ada artinya. Bukan semata-mata untuk ngabisin hidup gitu aja. Contoh ya seperti tadi aku bilang, hidup itu nggak selalu yang ngikutin trend. Lagi marak apa kek, ikut-ikutan. Lagi booming apa kek, ikut-ikutan. Bukan aku liat dari sudut ‘fashion’ aja dan lain sebagainya. Tapi aku pandang dari cara mereka itu. Mereka terlalu respon sama hal yang lagi marak-maraknya. ya itu tadi, bukan cuma dari sudut fashion. Intinya gini, kalo dari fashion aja dia ikut-ikutan., Apalagi yang lain. Apa untuk menjadi seseorang pemimpin, seseorang yang ‘dipandang’ dan dinilai lebih atau bisa dianggap lebih baik oleh orang lain itu harus—selalu—ikut-ikutan? Pokoknya aku nggak suka cowok yang model begituan. aku nggak langsung ‘ngejudge’ dengan satu alasan itu ya. Tapi dengan cara-cara mereka yang selalu aku perhatiin, dan ternyata emang bener. Mereka ikut-ikutan bukan dari segi fashion aja. Cara mereka bergaul, cara mereka berpendapat, cara mereka makan, cara mereka memesan kopi, cara mereka begitu mudahnya ngejude orang lain. Pokoknya banyaklah yang lain sebagainya. 4tahun aku kuliah psikologi, udah cukup bisa kok nentuin mana yang punya prinsip. Mana yang enggak. Kaya kamu sekarang ini Mat”

“Ouw...”

“Udah gitu ajah? Emang ngeselin kamu Mat. Bener-bener ngeselin banget. aku udah ngomong panjang lebar, cuma jawab ouw” Rum ambil kepalanya menjauh dari pundak Rama. tangannya mengambil secangkir kopi yang sudah mulai dingin di meja. Ia tenangkan dirinya dengan meneguk kopi pelan-pelan dengan sedikit irama. Sebenarnya Rum kesal, tapi bagaimana lagi. Ia tak bisa berbuat apa-apa, Rama memang begitu orangnya.

“Aku ngerti kok, inti kesimpulan dari omongan kamu itu seperti ‘bukannya jadi diri sendiri itu keren?’ iya kan? Udah ah ayok pulang. aku nggak mau Ibu kamu khawatir lebih lama.”

“Yaudahlah, kamu emang masih sama kaya dulu. Nggak peduli sama masa lalu seseorang walau baru kemarin dilalui. Tapi kamu lebih peduli dan lebih peka jika seseorang itu merasa tersakiti. Walau inti kesimpulan yang kamu ambil itu emang bener. Tapi, yaudahlah. semoga aja dalam waktu dekat ini Gandhi nembak aku ya Mat. Aku udah mulai berdarah nih sama panah cinta yang dia tancepin ke hati aku. Hahaa. Sekalian pengen cepet move on lagi dari Randi.”

“Bodo amat! ayok ah pulang, dan jangan pernah sekali lagi panggil aku Mamat! Inget itu!”

“Cie cie Mamat ngambek dipanggil Mamat. Bentar ah pulangnya. Kopi kamu aja masih setengah”

Kebiasaan, kebersamaan, kesetiaan, canda tawa, menangis, tenggang rasa, dan apapun. Sebagai hubungan entah itu apa. Kita selalu bisa menangkap, apa saja dari orang lain atau lawan jenis kita entah dari mana. Hal-hal akan kita tau, bahkan dari ketidaksengajaan. Atau dari sesuatu yang memang lama kita amati. Sampai pada akhirnya kita tau. Apa saja, dari orang lain atau lawan jenis kita. Yang kita ingin tau, atau bahkan tidak kita ingin tau, sampai akhirnya kita tau.

***

Rindu membawaku ke dalam diri kita yang dulu, apalagi saat kita melakukan hal-hal seperti yang selalu kita lakukan.

“Kau masih saja sedungu dahulu, Mat”

“Dungu, apa maksudmu? Dasar Kaca!”

“Kau bertambah tua saja sekarang ya, semakin pikun dan semakin pelupa”

“Memangnya kau tidak? Sudahlah, lebih baik sekarang kau tinggalkan saja kebiasaanmu itu. Bersikaplah berbeda. Untuk apa selalu berkaca, kau tidak perlu menjadi lebih cantik lagi. Memangnya masih ada yang mau denganmu?” ledek Rama

“Aawww... sudah aku bilang, jangan suka ngelitikin aku. aku geli! Dasar Mamat! Lagian siapa yang masih suka berdandan? Melihat kau tersenyum saja melihatku. Aku sudah menangkap jawaban darimu kalau aku ini sudah cantik. Hehehee lagian dungu masih juga dipelihara. Sudah aku katakan bahwa tidak ada uban di kepalamu, tapi kau masih saja memintaku untuk mencabutinya” balas Rum

“Entah kenapa, tiba-tiba saja percakapan kita di warkop dulu selalu saja teringat di pikiranku. Semua memang nggak bisa diduga yah... seperti sekarang ini, entah kenapa aku lebih nyaman dan lebih suka bersandar di pangkuanmu. Dan menatap sore bersama-sama”

Sore itu warnanya begitu jingga. Menyoroti sepasang mata mereka, dan secangkir teh tubruk yang Rum buatkan tanpa gula. Uban-uban di kepala Rama sedang Rum cabuti satu persatu. Di sebuah sofa panjang di balkon yang menghadap ke barat, mereka sedang mengingat masa lalu. Paha Rum mungkin adalah bantal terempuk yang pernah Rama rasakan selama hidupnya. Sudah hampir genap 10 tahun pernikahan mereka, kata-kata yang mereka ingat masih hanya itu-itu saja. tentang mimpi yang bahkan tidak pernah sekali saja mereka impikan.

2014

albumhitam.com
Share:

Monday, January 6, 2014

Yang Menyakitkan

picture is taken from here

1. padahal aku juga tau, kau selalu menghalangiku tak terhitung banyaknya. Hingga dinding yang telah aku hancurkan, kau bangun lagi bahkan lebih tinggi

2. dan semoga kau tau jawabannya. Ini karena, aku tak memiliki seorangpun lagi yang bisa aku percaya. Ini karena, jika aku tak terus mengikuti dan menganggumu. Aku akan sendirian

3. dan semoga saja kau memang tau jawabannya. Semua karena, kesendirian lebih menyakitkan dari pada rasa sakit apapun




.
Share:

Biografi

M.L.A. Mistam Lahir Duapuluh sekian tahun yang lalu. Belajar menulis puisi dan cerita pendek dari tahun 2010. Saat ini sedang menggemari membaca cerita dan menonton DVD. Buku-bukunya yang telah terbit “Yang Kucintai Selain Puisi (2013)”, “Aku Selalu Bisa Pulang (2014)”, “Apabila Denganmu (2015)", “Lelaki Pejuang Kuota (2016)", “Karena Di Dalam Lubuk Hatiku (2017)". Beberapa puisi dan cerpennya pernah diikutkan dalam beberapa buku “Sepasang Sayap yang Menerbangkan Ingatan (2012)”, “Antologi @puisi__cinta (2013)”, “Laut (2013)”, “Kepak Sayap-sayap (2014)” Sampai saat ini masih aktif membaca dan menulis bersama komunitas Banyuasin. Di blognya mohamadlatif.com ia masih suka menularkan rasa keegoisannya. Saat ini sedang sibuk mengerjakan sebuah buku terbarunya.

Hosting Unlimited Indonesia