 |
picture is taken from here |
Lampu kuning
baru saja menyala. Setelah detik angka di traffic
light sudah menghabiskan angka 0. Oka berhenti di sebuah perempatan. Dengan
kaki kiri sebagai penahan motor dan seseorang yang diboncengnya. Oka tidak
memperhatikan angka-angka yang berhitung mundur pada lampu merah di traffic
light, Ia hanya memikirkan tentang Yuni—seseorang yang membonceng di belakang
motornya. Semenjak ia menjemput Yuni di kampus hari itu, selama di perjalanan
pulang Yuni tidak seperti biasanya. Yang setiap kali jika diantarkan oleh Oka,
pasti selalu saja ada pembicaraan-pembicaraan kecil diantaranya. Walau
terkadang pembicaraan tersebut, ialah pembicaraan yang tidak perlu. Seperti “Kamu
tau nggak singkatan kampus itu apa?”.
Sebelum angka 0
di Running Text habis, dan baru
menunjukan angka dua. Oka masih diam, sambil memandang kosong sebuah perempatan
di depannya, Hingga angka 2 dilenyapkan waktu, dan beberapa bunyi klakson
menyadarkan lamunannya. Yuni-pun masih saja diam, tidak mengingatkan Oka untuk bersiap-siap
menarik gasnya dan melaju. Hingga Oka sadar, lampu telah hijau 5 detik yang
lalu. Yuni masih diam, tentu dengan gerak tubuhnya yang memang diam tak
bergerak. Ia hanya memandang jalan di sebelah kiri Oka. Karena Yuni membonceng
Oka dengan cara menyamping (maklum, Yuni tidak pernah memakai celana. Ia selalu
mengenakan rok kemanapun ia pergi. Setelah suatu ketika Oka pernah mengatakan
kepada Yuni, jika Oka tidak suka Yuni memakai celana dan lebih suka Yuni
mengenakan rok). Yuni terus melamun, entah ada apa di kepalanya saat itu.
Namun, Yuni masih saja diam.
Setelah sampai
di depan gerbang putih rumah Yuni. Yang pagarnya selalu tertutup namun tidak
pernah dikunci. Yuni turun dari duduk manisnya di atas motor Oka. Lalu ia
tiba-tiba saja pergi dari hadapan Oka. Yuni terlihat sangat kesal sore itu. Bukan
hanya diam yang Yuni lakukan, namun dengan wajah yang di tekuk segi delapan,
dan kerutan di dahinya yang ia tunjukan kepada siapapun yang melihatnya. Sesekali
ia menunduk seperti menahan tangis. Sampai akhirnya ia berlari menuju pintu
rumahnya, sambil diusap matanya berkali-kali oleh sebuah tisu yang sudah basah
sejak tadi (semenjak ia dijemput oleh Oka, dan membonceng motornya). Apalagi
dengan gerimis yang mulai datang, mengantarkannya pulang setelah turun dari
motor. Oka tak tau apa yang sedang terjadi “biasanya tidak seperti ini, ada
yang berbeda darinya” benak Oka. Oka selalu bisa melihat Yuni tertawa, tertawa
dan tertawa, yang Oka selalu lihat dari spion di sebelah kirinya. Seperti saat
ketika Yuni pernah mendapat hadiah sebuah pulpen di hari ulang tahunnya. Ya
sekedar hadiah sebuah pulpen saja, Yuni bercerita panjang lebar, alas tinggi,
luas volume, ya segalanya ia ceritakan kepadanya begitu semangat dan gembira.
Setelah turun
dari motor, Yuni langsung saja masuk ke rumah tanpa pamit menengokan wajahnya
kepada Oka. Oka juga tak tau, mengapa semenjak ia jemput Yuni di kampus. Ia
hanya diam, diam dan diam. Terdengar ia hanya seperti menghirup kembali ‘ingus’
nya secara kuat. Oka pikir Yuni sedang terserang flu. Namun dilihat dari
wajahnya yang Oka curi dari spion, kesedihan adalah jawaban yang pas. Tapi Oka
masih merasa janggal. Tak ada percakapan di perjalan pulang seperti biasanya. Oka
juga binggung kenapa tiba-tiba saja Yuni pergi, padahal Oka sedang ingin
membicarakan satu hal penting kepadanya waktu itu.
***
“Itu siapa Ka?
Manis yah. Pacarmu ya?” Febri dengan rasa penasarannya
“Bukan, ia
bukan pacarku. Yuni namanya, Ia tetangga, sekaligus teman dekatku, ya bisa
dibilang sahabatlah” tandas Oka, sambil menggelengkan kepalanya.
“Aku kira kamu
pacaran sama dia, setiap hari berangkat dan pulang kuliah kan sama kamu terus?”
“Oh iya, aku
dititipin sama keluarganya untuk njaga dia, khususnya nganterin dia ke kampus. Yang
aku bilang tadi, Yuni itu anak tetangga rumahku. Ya walau beda 1 blok di
perumahan. Aku blok C dia blok B. Tapi keluarga kami sudah saling mengenal
baik. Gimana nggak kenal baik, bapaknya dia dan bapakku dulu 1 sekolahan bareng
dari TK sampai SMP. Dan karena Yuni tidak bisa naik motor sendiri, dan memang
tidak ada angkot dari rumahnya atau rumah kami ke kampus. Maka orang tuanya
yang bisnisman itu, yang sibuk mondar-mandir keluar kota dan tidak bisa
menyempatkan untuk mengantar jemput anaknya. Ayahnya nitipin Yuni ke aku. Buat
berangkat dan pulang kuliah bareng sama aku. Kata bapaknya ‘Daripada harus sama
supir, mending sama aku gitu. Sekalian buat teman disini’ ”
“Lah Ibunya?”
“Keluarganya
single parent Feb”
“Tapi bukannya
kalian beda jurusan ya?”
“Ya begitulah,
kadang aku yang sempetin waktu buat nganterin dia kuliah walau aku nggak ada
kuliah hari itu”
“Kamu nggak
ngrasa keberatan tiap hari kaya gitu Ka?”
“Sebenernya si
keberatan. Tapi karena ini sebuah tanggung jawab, ya aku ikhlas ngejalaninya”
“Tapi kalo
dilihat-lihat, Yuni itu manis juga ya Ka? Dia lagi jomblo nggak ya kira-kira?” tanya Febri serius, setelah tau akan ada
suatu hal dari jawaban Oka.
“Oh, dia jomblo
kok. Tapi aku sarankan jangan suka sama dia. Dia itu anaknya mbosenin, jorok,
baperan, pokoknya nggak enak deh punya temen kaya dia. Serius. Suka ngupil
dimanapun, sendawa dan kentut yang juga nggak tau tempat. Pokoknya kalo kamu
suka sama dia, bakalan nyesel deh” jawab Oka cepat.
“Ah, masa gitu?
Tapi enggak ah kayanya” Febri mengerutkan dahi.
“Yaudah, ayok
masuk kelas. Udah mau masuk mata kuliahnya dosen killer nih. Oia, semoga kamu
betah di kampusku. Nanti aku kenalin sama temen-temenku yang lain yang lebih
manis dari Yuni” ajak Oka, seperti merubah suasana dan mengajak Febri untuk melupakan
yang baru saja terjadi.
“Oh, ok...
ayok... ruang berapa ya?” Febri cepat mengiyakan.
Febri yang baru
saja meluluskan wisuda Diploma 3-nya. Dan langsung ingin mengambil gelar S1-nya.
“nanggung, setahun lagi” katanya. Karena dunia kerja juga lebih banyak mencari
lulusan S1-nya dari pada D3-nya. Febri memilih kampus yang selama ini menjadi
tempat belajarnya Yuni dan Oka. Banyak pertimbangan sebenarnya. Namun, sepertinya
Febri hanya mencari gelar saja.
Febri adalah
seseorang yang cukup tampan, dengan kulit putih dan wajah yang bersih.
Seseorang yang welcome kepada siapa
saja. Seseorang yang ramah dan mudah diajak bicara. Seseorang yang murah
senyum. Dan seseorang yang cukup playboy (ini hanya pendapat dari Oka, dilihat
dari wajah dan sikapnya yang cukup mudah untuk mendapatkan seseorang perempuan
untuk dijadikan pacarnya). Dan salah seorang yang tiba-tiba saja menyukai Yuni hanya
dengan sebuah pandangan pertamanya.
Saat itu Oka
kebetulan satu kelas dengan Febri dengan beberapa mata kuliah yang kebanyakan
sama dengan apa yang diambil oleh Febri. Bagaimana tidak, karena pada saat mau
mendaftar, Oka-lah yang menjadi customer
service pribadinya. Dengan pertemuannya yang secara kebetulan di parkiran
kampus.
“Kamu kenal dengan Febri Ka? Dia mahasiswa
tranfer yang mau nyelesein S1nya disini. Itu lhoh yang bareng sama kamu di
parkiran basement tadi pagi” Yuni melontarkan beberapa pertanyaan pada Oka,
padahal ia bahkan belum sempat duduk membonceng Oka. Oka juga belum
menceritakan apa-apa tentang febri kepada Yuni, pertemuan oka dan febri baru
terjadi pagi tadi. Dan Oka juga tidak tau kenapa, sepulang kuliah hari itu. Yuni
mendatanginya dengan senyum-senyum kecil.
“Ouw iya, dia
teman sekelasku. Ada apa emang?” tanya Oka penasaran
“Ah tidak ada
apa-apa kok. Hehee.” balas Yuni sengaja membuat Oka tambah penasaran. Yuni
berfikir, mungkin dengan jawabannya itu akan membuat Oka menciptakan
pertanyaan-pertanyaan yang akan dengan setia Yuni menjawabnya setelah duduk
memboncengnya. Tapi tidak, kali itu sikap Oka berubah dingin.
***
Tidak ada yang
mencegah Yuni. Yuni tetap saja masuk ke rumah, bahkan dengan berlari. Oka tidak
menghentikan langka kaki Yuni atau mencoba mengejarnya. Ia sangat tau sifat Yuni.
Yuni termasuk seseorang yang tidak peduli apapun jika sedang bersedih, ia hanya
peduli dengan sepi. Ya, Yuni hanya butuh waktu untuk sendiri jika sedang
bersedih. Karena jika Oka melakukan sesuatu hal saja, tangisannya atau
kesedihannya itu justru berubah menjadi auman singa afrika. Toh kalo sudah sembuh, dia bakal baikan
dengan sendirinya. Tapi saat itu terasa beda, Oka seperti benar-benar tidak
bisa berbuat apa-apa saat itu.
“Mungkin Yuni
sudah tau, bahwa saat itu Oka menjelek-jelekan Yuni di depan Febri” Pikir Oka. Dan
jika memang itu alasannya. Oka sudah benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa
lagi. Yuni sudah masuk ke dalam rumah. Dan waktu sudah hampir pukul setengah
lima sore. Karena pada jam tersebut, kereta akan berangkat menuju Jakarta.
Sebelum pada akhirnya Yuni tau alasannya. Oka sudah pergi jauh, untuk waktu
yang lama. Ia pindah ke kampus lain di Jakarta, tepatnya Ia tinggal di jakarta.
Keluarganya memutuskan untuk tinggal di jakarta setelah Ayah Oka diangkat
sebagai kepala di kantor pusat. Entah sampai kapan atau mungkin Yuni tidak akan
pernah tau. Bahwa alasan Oka saat itu, Oka hanya ingin tidak ada yang boleh
mencintai Yuni selain dirinya. Tapi Yuni tidak pernah sadar.
albumhitam.com
2016