Sunday, December 15, 2013

Sepanjang kurang lebih 60 kilometer


matahari yang menyelamatkan kita dari malam yang gelap. dengan dingin yang senantiasa menjadi selimut tanpa pernah kita minta. tidak terasa sudah hampir berhari-hari—entah kenapa aku menganggap ini sudah lama sekali—setelah kau tak pernah lagi membalas pesan singkatku. daun-daun pohon belimbing yang mulai jatuh dan menumpuk di halaman rumah. dan bercangkir-cangkir kopi, yang menemani mata kosongku di meja kamar. tempat senantiasa aku memandangi banyak fotomu yang aku simpan di komputer.

matahari dan bulan, dua tokoh yang selalu kita misalkan dengan diri kita masing-masing. sudah terlalu banyak mungkin, suka dan duka menjadi senyuman dan tak pula konflik. namun, masih saja kita selalu membuat diri kita tertawa, dengan berbagai hal di sekitar. hari ini, entah tepat atau tidak, entah sama atau tidak. aku telah mengulangi lagi, hal-hal yang selalu kamu lalui ketika pulang ke rumah.

—erat lingkar tanganmu di perutku. selalu dapat aku rasakan, ketika hujan dan sedang sendirian.

sepanjang kurang lebih 60 kilometer. jarak dari depan rumahku yang masuk gang, ke depan rumahmu yang jaraknya mungkin agak terlalu jauh karena melewati beberapa kecamatan.  tapi tidak, aku selalu menganggapnya dekat, karena menurutku beberapa jalan raya dibentangkan hanya untuk mendekatkan yang berjauhan. aku tidak begitu teliti, yang jelas saat melewati jalan tembus yang biasa kau lalui. aku menemukan wajahmu yang kaget dari spion sebelah kiri. ada tiga polisi tidur disana. dan walau kita mengetahuinya, kita selalu saja tak menyangka dan melewatinya tanpa mengerem terlebih dahulu. kau menepukku keras dari belakang, memarahiku sambil tertawa. mungkin saat itu kita sedang asik-asiknya membicarakan perbincangan yang seperti biasa—yang tidak perlu.

aku selalu mencoba tak mengingatnya. aku ingin selalu bisa lupa. tapi entah mengapa, saat aku melewati jalan yang sama. sepanjang kurang lebih 60 kilometer. aku selalu menemukanmu pulang. aku selalu menemukanmu kembali. tertawa dan bercengkerama kepadaku yang selalu aku lihat raut wajahmu—tentu dari spion sebelah kiri. hari ini, entah siapa yang menduganya. aku sedang menjemputmu kembali, untuk melewati jalan yang sama. berdua saja



Share:

Sunday, November 24, 2013

Sore, di Ruang Tamu

picture is taken from here

Segar es syrup melon itu
dengan beberapa bongkah es batu kotak-kotak
yang hampir saja kehilangan bentuknya

kau yang selalu mengantarkan
ke meja ruang tamu
bersama dengan lengkung senyumanmu itu

dan tak lupa
basa-basi yang tak perlu
selalu saja kita bahas
di akhir sebuah tegukan

semoga saja
masih bisa kunikmati
beberapa gelas lagi;

lain hari 
Share:

Wednesday, November 20, 2013

Saat Sore Tadi (feat @chandrawily)

tuliskan aku
kenangan yang tertinggal di kerah kemejamu
wangi bekas kecupanku yang tak kau ingat lagi baunya

ingatlah, segala hujan yang pernah menghukum
dan kedua saku jaketku
yang menjadi tempat bersembunyi tanganmu

hujan itu ialah mimpi-mimpi kita
yang dikembalikan langit
menjelma jatuh air yang menjerit kesakitan
--pada setiap butirnya

dan apakah kau tau
inilah kali terakhir kita
sebelum kepulangan jatuh
di bukit pipimu sebagai sesuatu yang basah

maka usaplah pipiku dengan lembut
--seperti bunga dandelion lepas dari tangkainya--
agar perpisahan tak sesedih seharusnya

semoga cinta
tak seperti yang ditakutkan
lingkarkan kembali sepasang tanganmu
kita lawan hujan, seperti kita lawan perpisahan


Share:

Saturday, November 16, 2013

#5Bukudalamhidupku | Bermimpilah, Bermimpilah. Sekali Lagi, Sekali Lagi

Judul Buku : Yang Kucintai Selain Puisi
Penulis : Mohamad Latif Afadyra
Penerbit : Nida Dwi Karya Publishing
Halaman : 160 halaman
ISBN : 978-602-17042-8-8
Tahun Terbit : 2013

Bermimpilah setinggi langit. agar jika nanti kau jatuh, kau akan jatuh diantara bintang-bintang. Itu adalah salah satu kutipan, Presiden pertama kita I.R Soekarno. Bung karno (Soekarno) adalah tokoh yang sangat aku kagumi. Selain sebagai satu-satunya Presiden Indonesia yang mempunyai kharisma, kutipan-kutipan bung karno juga menjadi hal yang telah membuatku, menajdikan Bung Karno sebagai tokoh yang paling berpengaruh bagi diri aku sendiri, yang selalu menginspirasi, yang selalu kuat, yang selalu tegas, yang selalu dikagumi—sampai saat ini.
Seperti kalimat pertama di paragraf sebelumnya. Bisa aku pertegas, hidup itu berawal dari mimpi. Lalu mulailah bermimpi dengan sebuah niat. Dan berjuang, berjuang, berjuang. Hingga kau menganggap mimpi itu adalah langit. Yang entah sampai kapan, entah sampai dimana, kau akan raih. Tapi apa salahnya, jika mimpi terus kita perjuangkan. Dengan hal-hal sederhana yang kita bisa, misalnya. Karena perjuangan juga tak selalu yang berat, dan mengeluarkan uang banyak bukan?. Ya walaupun hasil perjuangan itu hanya menghasilkan 2 pilihan. Yaitu kata berhasil atau tidak berhasil. Tapi, Bukankah hidup juga sebuah pilihan. Resiko itu perlu.
Bicara tentang hidup dan mimpi. Apa saat ini, ada mimpi kalian yang sudah dicapai? Atau yang akan segera dicapai? Atau bahkan yang belum tercapai? Apapun jawaban kalian saat ini, setidaknya hidup yang kalian telah lalui kemarin itu tidak membosankan. Karena, ada hal disana, untuk memikirkan sesuatu tentang mimpi, tentang masa depan.
Saat ini aku juga sebenarnya sedang bermimpi atau sedang—baru saja—menggapai mimpi. Entahlah, namun sebuah buku dengan nama penulis, nama aku sendiri. Dan beberapa buku lainnya, yang juga menuliskan namaku sebagai nama penulisnya, dengan penulis-penulis lain. Berjejer rapi di rak buku bagian atas di tembok kamarku yang menghadap ke barat. Yang berada diantara buku-buku hebat lainnya. Seperti buku puisinya Sutardji, Taufiq Ismail, W.S Rendra, Chairil Anwar, Sapardi dan Aan Mansyur yang memepet dari sebelah kanan dan di sebelah kiri. Telah membuatku bingung sebenarnya. karena—sebelum ini—aku sendiri tidak tau apa definisi mimpi itu sendiri? Yang aku tau, mimpi ya mimpi. Bukan sesuatu untuk kita gapai. Seperti mimpi dalam tidur. Setelah bangun, ya sudah kita tidak bisa berbuat apa-apa bukan? Toh  itu hanya mimpi.
Tapi setelah jarum jam dikamarku berputar-putar ke kanan secara tak jelas. Sampai berpuluh-puluh baterai AA telah jatuh ke tempat sampah.  Hingga saat dimana aku sedang menulis artikel ini.  Aku sadar, mungkin mimpi ialah keinginan yang tumbuh dari dalam hati kita, secara langsung atau secara tidak langsung. Membuat kita akhirnya sadar, mimpi memang ada. Dan mungkin memang wajib diadakan.
Kalian pernah nggak si? Berbuat satu hal saja, yang berarti bagi hidup kalian? Menikah dengan pasangan pilihan kalian, bisa beli mobil, bisa beli rumah, bisa naik hajisama orang tua, ngebanggain orang tua dengan prestasi atau semacamnya(bisa juga jadi Presiden) Atau kalau misal nanti kalian mati, kalian pengen bisa masuk surga. Bermimpilah, bermimpilah. Jangan pernah bosan melakukan sesuatu(walau pernah gagal)karena sesungguhnya, kau hanya perlu melangkah sekali lagi, sekali lagi, dan sekali lagi. Bermimpilah sebanyak apapun, setinggi apapun. walau kau tau, mungkin akan sangat sulit dicapai. Dan hingga pada suatu saat nanti kau mengetahuinya bahwa, kau sedang melampaui batas mimpimu. Maka bermimpilah untuk hidup, karena hidup ialah mimpi itu sendiri.

Mohamad Latif Afadyra 16 November 2013

Share:

Friday, November 15, 2013

#5Bukudalamhidupku | Jika Kematian Telah Kita Ketahui Lebih Dulu


Judul Buku : Hidup Berawal Dari Mimpi
Penulis : Fahd Djibran feat Bondan Prakoso & Fade2Black
Penerbit : Kurniaesa Publishing
Halaman : 231 halaman
ISBN : 978-602-993491-5
Tahun Terbit : 2011


Baiklah, mari kita buat ramalan yang lebih sederhana: bagaimana jika kau akan meninggal besok? Dua atau tiga hari lagi? Kalau ramalan itu berlaku padaku, mudah saja, aku akan berhenti meminum obat-obat dari dokter dan akan menelepon kenny bahwa selama ini aku suka padanya. Aku tak perlu malu lagi sebab tiga hari ke depan aku sudah tiada. Selain itu, aku akan minta dibelikan coklat dan eskrim sebanyak-banyaknya. Aku juga akan mendoakan mama dan papa, aga tuhan menyayangi mereka dan mengampuni kesalahan-kesalahan mereka. Tentang aku, aku tak perlu meminta maaf pada tuhan dan memintanya menyayangiku. Sudah jelas, tuhan sangat menyayangi anak kecil dan akan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.

Hari ini, aku menuliskan ramalan baru, semacam koreksi dari ramalanku sebelumnya: BUMI AKAN BERAKHIR PADA 13 DESEMBER 2010. DIA MENINGGAL DENGAN TENANG.
***
15 Desember 2010
Maria menangis pilu sambil memeluk buku catatan milik anaknya, bumi. Di sampul buku itu tertulis judul besar CATATAN AKHIR DUNIA BUMI. Maria terus menangis. Air matanya deras menerjuni dua tebing pipinya. Dia menggigit sebagian bibir bawahnya. Tangis yang pilu. “Bumi... Bumi... Bumi...” dia terus memanggil anaknya, dalam suaranya yang menggigil, dan nafas yang terisak. Bahunya berguncang-guncang
“sabar ma... Bumi akan bahagia disana... Dia tak perlu kesakitan lagi.” Andri berusaha menenagkan istrinya, membelai rambutnya.
Maria tak kuat lagi, tangisnya pecah, tumpah di dada suaminya.
Dua hari yang lalu, pagi-pagi sekali saat Maria akan membangunkannya dan mengantarkan segelas susu untuk putranya tercinta, Bumi ditemukan meninggal dalam tidurnya...
...dengan tenang

Bumi ke Langit
Akupun tak pernah membayangkan bagaimana sebuah judul ini dijadikan cerita. Dan aku juga tak pernah berfikir bagaimana ceritanya. Bagaimana bisa bumi ini ke langit? Langit saja ada di bumi. Namun fahd djibran, bondan prakoso dan fade2black, berhasil membuatku sedikit geleng-geleng kepala. Ceritanya bagiku agak sedikit melenceng dari lagunya.
Setauku bondan & fade2black adalah sebuah—bisa dibilang—grup band. Tapi yang aku tau fade2black itu semua vokalis. Dan bondan sendiri megang bass. Tapi aku sedang tidak membahas itu. Ini tentang lagu-lagunya yang ngerapp tapi menginspirasi.
Hidup Berawal Dari Mimpi. Adalah buku kumpulan cerita pendek pertama yang ditulis fahd djibran, bondan dan fade2black. Semua cerita-cerita pendek di dalam buku ini adalah pengembangan dari lagu-lagu bondan & fade2black sendiri. Aku suka semua cerita-ceritanya. Kata-katanya nggak berat, sederhana, tapi ngena banget. Mungkin kalian yang sudah membaca buku ini, berfikiran sepertiku. Yang cerita-ceritanya memang pernah kita alami.
Tentang kehidupan manusia pada umumnya. Cinta, persahabatan, sosial, kekeluargaan. Semua ada pada buku ini. Bumi ke langit. Bagaimana cerita tentang seorang anak 12 tahun menceritakan tentang kehidupannya—kehidupan nantinya—pada sebuah ramalannya tersendiri. Dengan catatan yang diberi judul Catatan Akhir Dunia. Bagaimana tentang cerita-cerita dan waktu yang selalu ia hitung dalam buku hariannya. Katanya dunia akan berakhir tanggal 13 desember 2010. Imajinasi yang besar yang disampaikan penulis.
Mengangkat cerita tentang kematian, kekeluargaan, cinta. Dalam satu cerita yang dikisahkan seorang anak kecil pengidap leukimia mielositik akut. 4bulan yang ia rasakan setelah mengetahui penyakitnya. Hal-hal apa saja yang ia bayangkan, seketika dunia memang berakhir tanggal 13 desember 2010. Adalah menarik bagiku. Kematian memang sama sekali tidak bisa kita duga. Tapi apa yang akan kita lakukan, setelah kematian bisa kita prediksi mulai dari jauh hari. Ya, pastinya kau akan melakukan sesuatu atau beberapa sesuatu atau semua hal, yang belum kau wujudkan selama hidup. Dan anak kecil itu masih terus bertanya-tanya. Hingga yang ia inginkan hanya beberapa.  Karena ia-pun tau. Bahwa semua orang tau kalau dunia memang berakhir tanggal 13 Desember 2010. Tapi bukan dunia yang berakhir, tapi bumi yang berakhir. Nama anak tersebut. Ya dan catatan yang ia buat, akhirnya berganti judul menjadi Catatan Akhir Bumi.
***
Kematian, Sakit, bahkan hal terkecil yang akan kita alami beberapa jam, menit bahkan detik nantinya. Sangat sulit kita kira dan kita duga. Dan bagaimana jika semua hal sudah kita amati dan antisipasi sebelumnya. Akankah benar-benar merubah? Ataukah akan tetap sama? malam seperti biasa menutup hari. Dengan tidur yang berharapkan mimpi. Semoga doa menjelang tidur ini, mengembalikanku esok, di kehidupan yang—memang—belum pernah aku alami. Entah kematian atau memang—masih—benar-benar mimpi.

Mohamad Latif Afadyra 15 November 2013

Share:

Thursday, November 14, 2013

#5Bukudalamhidupku | Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia

Title : Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Author : Taufiq Ismail
Penerbit : Yayasan Indonesia
ISBN : 979-8424-04-2

Indonesia. Adalah negara kita yang kaya. Kaya akan segalanya. Karena kita punya, maka kita kaya. Indonesia adalah negara yang makmur. Karena kita punya, maka kita makmur. Indonesia, Indonesi, Indonesia riwayatmu kini. Aku sering, sekarang-sekarang ini mendengarkan lagu-lagu nasional sendirian. Dengan iringan musik asli. Atau tanpa instrumental apapun.
Tanah air-ku tidak kulupakan
kan terkenang selama hidupku
Biarpun sayang, pergi jauh
Tidakkan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau ku hargai

Walaupun banyak negeri ku jalani
Yang mashur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Disanalahku terasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau, kubanggakan

Indonesia adalah negara tercintaku, Indonesia adalah negara yang damai, dan Indonesia adalah negara yang lain sebagainya. Sayang, entah tahun berapa aku alami. Indonesia benar-benar bisa dibanggakan dari segala aspeknya. Dan pernahkah kalian berfikir, apa kalian tidak pernah sekalipun saja, ingin memajukan indonesia dan membanggakannya? Hidup bukan Cuma sekedar hidup saja. Kalian punya lingkungan, kalian punya teman, dan kalian punya rumah. Apa kalian tidak merasa malu negara kalian—Indonesia—tidak pernah maju? Hutang yang semakin banyak, pula koruptor yang takkan pernah kenyang makan uang kalian sendiri?
Indonesia bukan hanya rumah. Yang dengan seenaknya saja kalian tinggali. Indonesia juga perlu perlakuan yang baik. Indonesia juga butuh kasih sayang. Tapi kalian banyak memanfaatkannya. Kekayaan, keberagamaan, kebudayaan, dan masih banyak yang lainnya. Justru kalian jual dengan berbagai macam cara dan bentuk.
Jika seorang penyair saja malu, harusnya sebagai orang-orang biasa. Atau masyarakat pada umumnya, juga kalian harus lebih malu. Indonesia takkan pernah merdeka, jika orang-orangnya tetap egois dengan kesenangan dan dunianya sendiri.
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Seratus puisi Taufiq Ismail. Adalah buku ketiga yang merubah hidupku. Ya walau aku tak mempunyai buku tersebut, karena buku tersebut milik negara dan tidak untuk diperdagangkan. Aku suka buku tersebut, aku sering meminjamnya di perpustakaan SMA dulu. Setelah aku membaca kumpulan sajak Sapardi, sejak itu aku mulai membaca puisi-puisi lain. Termasuk buku puisi Taufiq Ismail ini. Sebulan sekali, aku selalu meminjam buku tersebut. Hanya untuk dibaca-baca dan mengerti lebih lanjut tentang kata-kata yang hendak disampaikan penulis. Aku tak suka dengan denda, maka dari itu aku selalu mengembalikannya tepat waktu, walau waktu peminjamannya hanya dua hari. Maka dari itu pula, dengan adanya jangka waktu, aku meminjam buku tersebut di bulan berikutnya. Karena membaca di perpustakaan selalu tak tenang, ruang perpustakaannya memang sepi. Hampir tidak ada yang berbicara. Tapi diluar ruangan perpustakaan berhadapan dengan lapangan upacara, yang biasanya dijadikan lapangan sepakbola mini—atau jaman sekarang biasa disebut dengan futsal—yang gawangnya dibuat dari beberapa sepatu yang ditumpuk. Memang, jaman SMAku dulu adalah jaman yang sangat menyenangkan.
Untuk membaca sebuah buku. Biasanya aku tak langsung membuka lembar demi lembar halaman isi. Tapi aku lihat dari sebuah judul bukunya. judulnya menarik, bikin penasaran orang untuk membacanya. Kata pembukanya pun menambah bikin penasaran setiap orang yang akan membacanya.
Pada buku ini, Taufiq Ismail aku baca sebagai penyair yang sangat sekali peka dengan sejarah. Kata-katanya sederhana, namun sarat sekali makna. Puisi-puisinya aku lihat sebagai protes dan rasa malunya tentang negara ini. Gaya penulisannya-pun cukup menarik. Ia misalkan sebagai kehidupan aslinya, atau ia misalnya dengan hal-hal yang sejajar. Namun selalu, penuh kritik dan protes. Banyak sebenanrnya yang diangkat Taufiq Ismail dalam buku ini, kesenjangan, kekecewaan, penindasan, pemerintahan, politik, kemiskinan, diktator, pokoknya hampir segalanya tentang kritik dan protes. Penulis—dalam buku ini—sepertinya lebih banyak menggunakan teknik narasi atau bercerita pada puisi-puisinya. Dari puisi, penulis mencoba jadi pendongeng yang khawatir, yang cemas, yang takut, yang melawan, yang berani. Tapi tidak sedikit puisinya juga jenaka, dengan sindiran-sindiran yang bagiku ngena jika sebagai orang yang dituju ikut membacanya. Demikian buku ini, aku nilai pribadi sebagai buku yang mewakilkan perasaan masyarakat Indonesia pada waktu itu—orde baru.
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Dan semoga nanti, jika Indonesia tumbuh menjadi tanah air yang sebenar-benarnya tanah air. Indonesia kaya, makmur, damai, sejahtera, rukun, adil dan lain sebagainya yang sebenar-benarnya. Mungkin saat itu aku membuat buku puisi kelanjutan dari buku puisi ini. Dan akan aku buat judulnya satu halaman penuh, agar pembaca bisa langsung tau. Kita memang harus bangga—“Bangga (Aku) Jadi Orang Indonesia”

Mohamad Latif Afadyra 14 November 2013
Share:

Wednesday, November 13, 2013

jatuh cinta diam-diam (2)

image taken from here

Sebenarnya, dari dulu
Aku yang diam-diam tanpa pernah kamu tau
Memperhatikan senyummu, Yang bagimu biasa

Semoga saja kamu tau
Mengapa aku suka duduk di belakangmu
Mengapa aku tidak pernah membolos
Mengapa aku diam-diam

Semoga cinta
memang bisa memiliki
dengan tanpa memiliki




Share:

#5Bukudalamhidupku | O, Amuk, Kapak


Title : O, Amuk, Kapak
Author : Sutardji Calzoum Bachri


O, Amuk, Kapak

Satu

kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika jari jemarimu tak bisa memetikku

ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
jika ususmu belum bisa mencerna ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu

daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku

Segala sesuatu pasti bermula dari awal. Kata pertama adalah kata yang cocok untuk mengawali segala yang berawal. Pertama kalian lahir sebagai makhluk hidup yang mempunyai akal dan hati. Pertama kalian mendapat kasih sayang dari ibu yang rela meluangkan waktunya kalian. Pertama kita akhirnya dapat berguling-guling, lalu merangkak, berjalan dan akhirnya dapat berbicara. Semua akan kalian awali, semua akan menjadi kalimat pertama.
Pertama adalah bukan hal untuk kita akhiri. Seperti kata pertemuan, pertemuan berbeda dengan pertama. Jika pertemuan harus diakhiri dengan perpisahan. Pertama diakhiri dengan kata terakhir. Aku binggung menjelaskannya disini, yang jelas pertama itu beda dengan kata pertemuan. Ini menurutku ya, jika menurut kalian sama. Ya itu terserah kalian.hehe
Ada yang harus aku jelaskan tentang kata pertama yang dari tadi—walau sedikit—aku tulis di awal-awal kalimat. aku akan menjelaskan tentang hal pertama ku mengenal cinta. Kau juga pasti akan mengalami hal pertama untuk mengenal cinta bahkan untuk jatuh cinta. Jatuh cinta kepada lawan jenis kita masing-masing tentunya. Tapi berbeda, ini adalah cinta pertamaku kepada sajak dan puisi.
Aku adalah anak yang pendiam. Dan pada kediamanku aku termasuk orang yang sangat tidak suka membaca. Berbeda dengan kebanyakan orang yang pendiam. Mereka justru lebih bisa menggunakan waktu diamnya untuk membaca. Tapi tidak, setelah aku mengenal cinta kepada salah satu buku. Ini berawal ketika aku kelas satu SMA, aku masih lucu-lucunya di sekolah waktu itu. Dan pendiamnnya aku mungkin sedang hebat-hebatnya. Aku termasuk orang yang susah untuk berinteraksi. Hingga setiap kali istirahat sekolah, aku harus ke kantin sendirian, tanpa teman. Kalau tidak salah, saat itu hari senin entah tanggal berapa. Ah, mungkin bukan hari senin. Tapi anggap saja saat itu hari senin. Sudah lebih dari 7 tahun ini, semoga saja ingatanku masih dapat mengingat yang dulu.
Waktu itu sedang pelajaran bahasa Indonesia, yang ternyata ada tugas. Untuk mencari puisi yang harus dicari oleh siswa di perpustakaan. Dan setelah itu dibacakan di depan kelas. Saat itu siswa sekelas langsung berbondong menuju perpustakaan. Guru menyuruh kami, untuk mencari puisi yang biasanya ada pada kolom remaja di koran hari minggu. Tapi aku sedikit binggung. Bagaimana bisa sekolah berlangganan koran hari minggu? Padahal hari minggu sekolah selalu tutup. Dan akhirnya aku, yang mempunyai ide jenius. Akhirnya aku mencari buku kumpulan puisi. Yah, walaupun ide ini adalah ide yang mainstream. Bagaimana tidak, akhirnya semua siswa mencari buku kumpulan puisi juga.
O, Amuk, Kapak. Aku temukan di antara deretan buku sastra. Yang tidak ada satupun siswa mengambilnya. Walaupun ada 4buku yang sama berjejer disana. Mungkin karena sampul buku yang kurang diminati para siswa. Akhirnya aku ambil, dan membuka-buka lembar demi lembar halaman. Saat itu aku belum memutuskan langsung untuk meminjam buku itu. Seperti teman-teman yang lain juga. Tapi setelah aku menemukan puisi “Satu” entah kenapa aku langsung menyukainya.
‘Satu’ maknanya dalam sekali. Ya, walaupun aku saat itu bukan pembaca yang baik. Tapi aku langsung suka dengan puisi itu. Kata-katanya sederhana, tapi sangat tegas. Dan sejak saat itu pula. Aku sudah memutuskan untuk jatuh cinta kepada puisi. Aku banyak-banyak mencari buku puisi, Aku membaca, aku menulis. Ya tentang puisi tentunya. Saat itu adalah pertamaku mengenal puisi, dari buku sutardji—yang saat itu baru saja kukenalnya—yang membuatku jatuh cinta.
Buku ini adalah salah satu buku yang mengubah hidupku sekarang. Salah satu hal yang telah membuatku berubah menjadi lebih baik. Salah satu hal yang telah membuatku menulis buku kumpulan puisiku sendiri, dan tiga buku antologi. Terimakasih sutardji, terimakasih puisi. Aku mencintaimu

Mohamad Latif Afadyra 14 November 2013

Share:

Tuesday, November 12, 2013

#5bukudalamhidupku | Friendship will never end


FRIENDSHIP WILL NEVER END
Percayalah kalian, bahwa masa Sma adalah masa remaja yang paling tidak dilupakan. Bisa dibilang masa paling indah bagi para penyair amatir. Disana masa remaja kita telah tumbuh dan siap bermetamorfosis untuk mencari jati dirinya. Mencari apa yang ada pada pemikirannya, dan tentu pemikiran-pemikiran yang akan direalisasikan. Dalam waktu dekat, atau dalam jangka panjang.
Disana—di masa SMA—ada masa-masa yang mungkin baru pernah kalian alami bukan? Masa-masa mengenal cinta pertama, masa-masa melarikan diri pas jam pelajaran berlangsung, masa-masa merasakan baru pertama kalinya bebas berkendara motor karena baru punya SIM. masa-masa pertama kalinya bangun siang gara-gara semalaman begadang dengan teman nongkrong. Menikmati malam dan beberapa rokok yang masih  ngeteng gara-gara uang saku yang masih pas-pasan.
Dan pasti selalu saja ada hal yang akan kalian ingat begitu saja ketika seseorang—atau anggap saja aku—mengatakan SMA. Entah itu kenangan-kenangan manis dan pahit, kalian pasti akan dengan gampangnya mengingat ingatan tersebut. Karena percayalah, ingatan tidak akan pernah bisa melupa begitu saja, sehebat apa kau bisa mampu melupa.
Ini adalah buku kenang-kenanganku waktu SMA. Bukunya sebenarnya tipis, tapi terlihat agak tebal dengan hard cover yang menjadi sampul bukunya. Ukurannya mungkin agak sama sebesar buku cetak matematika, yang mungkin juga sangat jarang kau membacanya. Karena kau tau semua tugas ada di LKS dan materi-materipun sudah dijelaskan pada saat kegiatan belajar mengajar. Tapi tetap saja aja yang berbeda, bentuknya persegi, semua sama sisi.
Buku ini sekarang tinggal di rak buku—yang kubuat sendiri dari kayu bekas lemari pakaian—ia berada di paling kiri jejeran koleksi-koleksi bukuku sekarang. Aku sengaja meletakannya dipaling kiri. Bukan agar tak terlihat langsung oleh mata, karena posisinya paling ujung. Melainkan memang koleksi-koleksi bukuku aku urutkan bedasarkan yang paling tebal dan besar, sampai yang paling kecil. Dari kiri hingga kanan. Tak ada alasan tertentu sebenarnya, agar ingin tampak terlihat rapi saja.
Buku ini tak mempunyai penerbit. Tapi mempunyai hak cipta. Ya, semoga kalian tau. Hak cipta itu otomatis dimiliki oleh penulis, tanpa harus menggunakan embel-embel penerbit. Ya walaupun buku itu akhirnya diterbitkan. Hak cipta—desain dan layout—dimiliki oleh para panitia pembuatan buku ini. Sebentar, mungkin kalian agak bingung atau pula risih membaca buku ini  ya walau sudah dilampirkan di dalam postingan. Yasudah, aku akan mengganti kata-katanya menjadi yearbook. Bukan supaya terlihat gaul atau mengikuti gaya-gaya bahasa asing. Yearbook, sesuai artinya dalam bahasa nasional kita buku tahunan.
Yearbook ini aku tak tau pasti ada berapa halaman. Tidak ada nomor halaman ditiap lembar kertasnya. Dan tidak ada daftar isi, untuk membantu pembaca menuju ke halaman berapa yang dicarinya. Ya walaupun nanti akan diketahui jika memang sengaja dihitung dari awal. Tapi, aku memang malas menghitungnya. Salah satu hal yang aku suka dari yearbook ini, adalah soal garansi. Garansinya satu tahun penuh. Busyet kaya laptop aja ada garansinya, 1 tahun lagi itulah pemikiran pertamaku saat pertama membaca halaman pertamanya. Hingga akupun pernah berfikir, jika 1hari sebelum garansi bukunya habis. Kubiarkan yearbook ini dimakan tikus, agar bisa diganti yang baru. Haha, memang pemikiran jaman SMA yang labil. Apalagi dengan status yang baru aja lulus.
Yearbook ini bukan buku novel atau kumpulan cerita atau apalah itu. Isinya foto-foto di jaman SMA dulu. Foto-foto yang memang sengaja dibuat untuk keperluan yearbook ini. Mungkin pembuat—panitia pembuatan yearbook—berfikiran ini memang akan dikenang nanti di masa-masa mendatang. Maka dari itu kami—siswa yang mau lulus—untuk membuat foto-foto untuk dimasukan ke yearbook. Temanya bebas, asalkan ada foto-foto siswa sekelas. Kata si pembuat yearbook ini.
halaman pertama yearbook ini adalah tulisan nama sekolahku. Lalu dibaliknya, ada foto setengah halaman ibu kepala sekolah dengan kata-kata pengantar dan sebagainya. Aku, atau kami—siswa SMA—mungkin akan memaklumi hal tersebut. Karena beliau memang kepala sekolah, bukan seorang model yang sedang mengikuti lomba foto dan lomba tulis kata pengantar atau sambutan. Setelah itu ada beberapa kolom dan baris yang memperlihatkan foto-foto guru. Semua guru, bahkan bagian TU dan penjaga sekolah. Ada yang saya bingung waktu itu, kenapa guru killer sekalipun saat di foto itu tersenyum? Kenapa tidak muka asli judesnya saja?
Para creative crew, yang dalam masalah ini adalah si panitia pembuatan yearbook. Tampil narsis di halaman selanjutnya. Dan yang paling ditunggu. Karena dulu aku adalah siswa 12 IPA 1 maka tidak harus dengan undian atau semacamnya, pasti kelasku akan muncul pertama sebagai pembuka. Dan ternyata, fotoku terpampang disana dengan bergandengan tangan dengan teman-teman sekelas, selayak pasangan suami istri yang baru saja naik pelaminan dan langsung minta difoto. Setiap kelas menceritakan cerita meraka masing-masing. Ada yang menceritakannya dengan model komik jepang, setiap siswa berpose lalu ditambah kata-kata nyleneh saat proses editing. Ada yang menceritakan tentang kejadian lucu-lucunya di kelas. Tentu, dengan sengaja atau tanpa disengaja. Yang jelas Temanya bebas, asalkan ada foto-foto siswa sekelas. Begitu kata panitia. Pokoknya macam-macam, dan kreasinyapun bagus-bagus.
Kelasku membuat cerita tentang permainan tradisional. Karena kelas kami beranggapan, semakin maju jaman dan teknologi. Semakin dilupakan pula permainan-permainan tradisional. Siswa kelas kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok memainkan salah satu permainan tradisional. Dan tentu, karena ini kami buat sengaja. Tak jarang pula ketika diambil gambarnya aku, dan teman-teman lainpun berpose se-nyleneh dan seheboh mungkin. Karena dari awal memang sudah diberi tau. Apalagi aku, yang selalu beranggapan bahwa yearbook ini adalah kenangan satu-satunya yang akan tetap abadi, meskipun aku nanti sengaja melupa. Yearbook ini akan tetap ada dan mengingatkan apa yang telah sengaja dilupa.
Diantara isi dan segala macam-macamnya di yearbook ini. Aku paling suka dengan sampul bukunya. bukan hanya tentang gambarnya, yang menggambarkan sepasang tangan sedang berjabatan. Yang mengisyaratkan yang kalian pasti tau alasannya. Tapi tentang judul buku yang selalu membuatku tidak ingin—dengan sengaja—melupa begitu saja. “FRIENDSHIP WILL NEVER END”

Mohamad Latif Afadyra 12 November 2013


Share:

Sunday, November 3, 2013

semoga kau lupa datang, luka

image taken from here

sebab
luka pada dalam tubuhku 
akan lebih sulit untuk sembuh
maka
jika kau ingin melukaiku
lukai saja di bagian luar

sebenarnya luka yang tertusuk 
akan lebih sulit diobati 
dari pada luka karena tergores

namun tetap saja luka
tetap saja selalu menyakitkan
Share:

Wednesday, October 30, 2013

puisi untuk kekasih yang belum jadi kekasih



image taken from here

mungkin ini adalah berjuta kalinya aku
sebagai pemuja rahasia, yang selalu menyembunyikan diri
dengan beberapa cara, yang tak bisa kau duga
dengan sederhana

jika kau tanyakan padaku mengapa
aku akan menjawabnya dengan seribu karena
jika kau tanyakan padaku untuk apa
aku akan menjawabnya sederhana, untukmu

saat itu ingin sekali aku mengantarkanmu pulang
kau membonceng motorku dan duduk di belakang

ketahuilah
ingin sekali kiranya aku
memegang tanganmu dan menyimpannya di dalam saku jaket
lalu menahan tangan itu
dan membiarkannya disana (menahan dingin bersama)

tapi ingin sebenarnya aku
mencintaimu lebih dari cinta yang pernah kau terima
tapi ingin sebenarnya aku
mencintaimu lebih dari hanya sekedar kata-kata
--walau masih belum

Share:

Saturday, October 26, 2013

Korek dan Beberapa Batang Rokok Kretek

picture is taken from here


Tidak ada yang sanggup menanggapi hal ini selain kamu; sebenarnya. Tiap sore yang aku luangkan setiap hari. Dengan beberapa hal yang mungkin kamu ingat. Kebiasaanku sebelumnya, yang selalu mengantarkanmu pulang sekolah ke rumah. Kau selalu mengajakku mampir, untuk sekedar berbincang tentang beberapa hal yang mungkin tidak perlu untuk kita perbincangkan. Tapi aku tak selalu mengiyakan ajakanmu, tidak mungkin setiap hari aku selalu seperti itu. Aku tidak ingin kamu merasa bosan saja. Dengan kebiasaan ini yang akan menjadi kebiasan yang membosakan nantinya.
Aku tidak lupa, dengan ucapan terima kasih Ibumu kepadaku. Saat kau membuka gerbang dan kembali pulang. Ibu selalu tau, bagaimana anaknya telah sampai di depan rumah. Bagaimana tidak, suara knalpot vespa yang tron...tron...tron... selalu membuat berisik gang yang hanya bisa dilewati dua buah motor saja. Ibu selalu melemparkan senyum, seperti aku bayangkan Ibumu melambaikan tangan dan mengucapkan terimakasih secara lirih.


Sore yang menyilaukan, matahari yang akan segera pulang menuju tempat berbeda di sisi yang lain sebelah barat, seakan mengintip kita yang sedang berbincang tentang percakapan sederhana  sore itu. Ditemani sepasang gelas yang penuh oleh syrup rasa melon dan beberapa es batu kotak-kotak. Kau sendiri yang membuatkannya untukku. Bagaimana bisa aku tau? karena kau selalu membicarakannya saat menyuguhkannya kepadaku. Tentu, dengan sebuah senyum malu-malu yang selalu sempat kau sisipkan. Aku selalu bisa menghabiskannya, bahkan 2 gelas sekaligus. Bukan karena kehausan, melainkan karena perkataanmu yang cenderung memaksaku untuk ku habiskan sendiri “kenapa kamu nggak mau ngabisin es syrupnya? enggak manis ya? kalo nggak manis dan nggak mau ngehabisin, mendingan tadi aku nggak usah capek-capek bikinin buat kamu tau gini. Tapi kalo manis, punyaku kamu habisin juga ya?” pilihan yang sangat sulit memang, tapi mau bagaimana lagi, akhirnya sepasang gelas es syrup melon tersebut kuhabiskan sendiri.
Sudah hampir genap tiga setengah tahun. Sejak saat aku mengikuti ujian semester pertama di tempat kuliahku. Dan ini adalah pertanyaan pertamamu, saat aku akhirnya lulus dan mendapatkan pekerjaan. “Sayang, gimana pekerjaan pertamamu? Pasti menyenangkan? Awas ya kalo kamu selingkuh dan bertemen sama cewek-cewek cantik disana. Awas aja kalo kamu nakal” sinis lirikan matanya itu, kulihatnya seperti sebuah senapan laras panjang AK47 yang siap untuk ditarik pelatuknya. Dan door aku merasakan tembakan yang belum sempat ditembakan itu. “Ah jangan menuduh seperti itu, walau itu sebuah peringatan. Tuhan bisa saja menjadikannya doa lhoh...”. percakapan yang memang tidak perlu, terlalu naif mungkin. Ya bagaimana tidak, dalam setiap hubungan. semakin lama hubungan yang dijalani, akan semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak jelas selalu ditanyakan. Misalnya saja, seperti saat aku sedang mengantarkannya pulang minggu lalu. Di tengah jalan, Winda teman perempuan pertamaku yang sekaligus teman satu angkatan ketika kami diterima masuk sebagai pekerja baru disana, mengirimiku sebuah pesan. menanyakan nomor angkutan yang lewat depan kos-kosannya. Maklum, ia adalah orang pendatang. Kota besar seperti ini memang banyak mendatangkan orang, dengan berbagai mimpi-mimpi. Tak terkecuali Winda.
“Sms dari siapa sayang?”.
“Winda, temen kerjaku”
“Cewek ya?”
“Ia”
“Kok cewek bisa tau si nomor hape kamu?”
“-_-“
Mungkin saat itu sore terakhir yang bisa kami rasakan. Entah siapa yang memulai entah siapa yang mengakhiri. Dan entah siapa yang melakukannya. Bukan karena pertanyaan-pertanyaan yang ‘bodoh’ atau bukan karena sepasang es syrup melon yang selalu aku habiskan sendiri. Mungkin karena ini adalah semester terakhir, sebelum ia akhirnya memutuskan mengambil skripsi. Tapi bukan itu.


Sore katanya memang waktu yang romantis, bagi beberapa kalangan—sebut saja penyair—aku menyetujui pernyataan itu. Tapi tidak sepenuhnya aku selalu setuju, karena terkadang ada hal yang selalu sore ceritakan tidak seperti yang kita bayangkan. Hujan misalnya. Aku juga tidak tau kenapa, mengapa setiap sore aku selalu menyempatkan pergi ke atap rumah. menatap sore dari sana dengan diam. Menyaksikan matahari pergi tanpa kata-kata secara perlahan. Dengan ku panjat tangga yang kubuat sendiri dari beberapa batang bambu sisa pembangunan rumah tetangga. Aku selalu tidak lupa dengan korek dan beberapa batang rokok kretek—sesuatu yang tidak kau sukai dariku—lalu  duduk di atas genteng menghadap ke barat, yang sepi, yang silau, yang sunyi, yang menenangkan.
Hujan adalah salah satu alasan, jika pada beberapa waktu aku tak sempat menatap sore. Karena bagiku, kesedihan sudah ada yang mewakilkan. Tidak ada yang bisa dijelaskan dengan rinci. Aku suka sore, tapi aku benci hujan. Menjadi seorang pramuniaga mungkin cara yang salah untuk seorang sepertiku yang sudah sarjana S1. Tapi mau bagaimana lagi. “Ini hanya masalah waktu. Kau hanya perlu menunggu. Sekiranya lama”

Saat itu kau membuka payung, hujan sedang deras-derasnya. Seperti biasa kau mengantarku sampai ke depan gerbang. Suara tron...tron...tron... yang ditilap suara hujan, Ketika aku mulai menyalakan mesin. Membuka percakapan sebelum aku akhirnya pulang “Besok ayah pulang dari Batam, bersama anak temannya yang seorang manajer. Besok dan seterusnya jangan kembali kesini, menjemputku lagi”



Share:

Monday, October 21, 2013

Saturday, October 5, 2013

putri bulan

Putri, sebenarnya sudah lama aku ingin menuliskan puisi untukmu. Namun, aku pernah mendengar dari seseorang. Jika kau adalah putri bulan. Yang hanya muncul di malam hari, dan itupun terkadang. Entah siapa yang memberitahukan kepadaku, mungkin Tuhan. Ya, siapa lagi yang bisa membuat takdir, dan jodoh, dan pertemuan.

Aku adalah dewa. Ya kau benar, aku dewa matahari. Yang selalu tak bisa kau temui kecuali jika sedang gerhana. Malam ini sebenarnya aku ingin sekali mencium keningmu saat kau bermimpi. Dan membacakan puisi ini pada bisikan lembut di telingamu. Tapi tidak mungkin, kau juga tau kenapa. karena aku adalah dewa matahari.

Seekor ayam. Ayam peliharaan pak haji. Suatu pagi. Memberitahukan kepadaku lewat kokokannya, bahwa ia melihat putri menangis di sepertiga malam yang hampir habis. “lalu siapa yang menenangkannya, lalu siapa yang membuatnya menangis, dan lalu siapa yang membuatnya berhenti menangis”. –kehadiranmu dewa
Share:

Sunday, September 29, 2013

untukmu, luka

jangan pernah menangis
saat engkau terlahir tanpa ibu atau seorang bapak
atau bahkan beberapa bapak

cinta takkan pernah menyalahkanmu hadir
sebagai kata-kata yang dibenci, nantinya

jika hujan selalu kau anggap teman untuk menyendiri
berharaplah, seseorang akan jatuh serta
atau tidak sama sekali

seperti sebuah takdir
tak pernah bisa kau minta
namun ia selalu ada
Share:

Thursday, September 26, 2013

menjadi apapun

aku ingin menjadi sesuatu
yang kamu sukai saat mulai membayangkan sesuatu

aku ingin menjadi apapun
yang kamu sukai saat mulai membayangkan apapun

mumpung aku sekarang--yang kasmaran
melihatmu lebih-lebih dari biasanya

mumpung aku sekarang--yang jatuh
menginginkanmu melebihi yang sedang aku lalui
Share:

Friday, September 13, 2013

Sebuah Keinginan

“GERBANG PENDAKIAN GUNUNG SLAMET. POS BAMBANGAN. KABUPATEN PURBALINGGA” Terlihat seperti sebuah pintu masuk gerbang Desa, dengan tulisan beronamen besi-besi yang disatukan dan diberi tulisan besar berbentuk setengah lingkaran. Seperti gerbang Desa pada umumnya, Bisa dibayangkan seperti pintu masuk kondangan-kondangan pernikahan di gedung. Namun bedanya ini di Desa. Atau bisa dibayangkan juga seperti pintu-pintu dan jendela masjid yang bagian atasnya membentuk setengah lingkaran. Ya sama persis.

Bambangan, begitulah nama desa tersebut. sebuah Desa terakhir di kaki Gunung Slamet di daerah Purbalingga. Tepatnya di pintu masuk utama pendakian Gunung Slamet via Bambangan. Bambangan adalah jalur tercepat untuk menuju puncak Slamet diantara jalur Dipajaya di Kabupaten Pemalang, jalur Guci di Kabupaten Tegal, atau jalur Baturraden di Kabupaten Banyumas. Di Desa yang berketinggian 1279 mdpl ini kuperiksa kembali perlengkapan dan mengurus segala administrasi pendakian.

Ini kali pertamaku mendaki gunung melewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra, bersama teman bertualang. Lah kenapa jadi nyanyi begini? Setelah membaca tulisan itu, detak jantungku entah kenapa menjadi lebih cepat dari biasanya. Dan tiba-tiba Aku melamun memikirkan seseorang yang disana. Membayangkannya tertawa sembari tersenyum menatapku. Dan ah, cinta memang selalu membuat orang lupa diri dan dianggap gila.

“Gimana mblo? Siap? Andi menepuk bahuku tiba-tiba, saat Aku sedang melamun menatap tulisan di gerbang itu.

“Anjrit. Apaan sih, emang Aku ini kamu? yang suka nangis kalo beli bakso tapi ga ada yang beliin?”

“Eh eh, kenapa malah nyangkut kesitu...”

“Lagian aku lagi ngelamun, dan lagi deg-degan gini malah dikagetin ngomong nggak jelas”

“Hahhaaa iya deh, udah siap kan metik edelweis buat Mawar?”

“Ok siap”

“Ayok berangkat!!! Lets go Bro!!!”

“Kamu di depan ya, Aku lupa nggak bawa speedometer si”

“Tunggu, aku mau kencing dulu...” Kata Yuza

 

Ini memang perjalanan perdanaku mendaki gunung. Dan langsung mendaki gunung tertinggi di Jawa Tengah, atau gunung tertinggi kedua di Jawa. Ya, Gunung Slamet (3.428 meter dpl.) Tapi tidak dengan kedua sahabatku, Andi dan Yuza, mereka mungkin nampak biasa dengan perjalanan kali ini. Bagaimana tidak dari kelas satu SMA dulu, mereka sudah mengikuti ekstrakulikuler pecinta alam. Maka dari itu, mendaki gunung sudah seperti kegiatan rutin wisatanya. Apalagi dengan Gunung Slamet, Gunung yang paling dekat dengan kampus dan kota kami. Hingga akhirnya mereka aku paksa, untuk mengantarkanku pergi ke puncak slamet dan menyempatkan untuk memetik edelweis untuk Mawar.

 

***

 

Sebut saja Mawar, bukan nama samaran karena dia adalah seorang korban pelecehan seksual atau tersangka pencurian baju yang tertangkap CCTV. Tapi namanya memang Mawar. Ia selalu saja (namanya) menjadi bahan tertawaan kami di kampus. Apalagi saat ada mata kuliah pendidikan kewarganegaraan, yang disana sedang membahas kriminalitas. Haha..

Ia seorang perempuan manis, berkacamata, pemakai setia kerudung segi empat, penyuka rok panjang, dan seorang perempuan yang tidak suka makan mie ayam di toko bangunan. Teman-teman menganggapnya perempuan yang cupu, nggak ngerti gaya. dengan kacamata kotak yang berbingkai warna hitam setebal kasur tidurnya, dan sepatu convers yang katanya tidak pernah ia cuci semenjak ia membelinya. Ditambah dengan roknya yang selalu lebih panjang dari tumitnya, juga jaket sweater ukuran XL. Ya, teman-teman menganggapnya begitu. Tapi tidak denganku, ia spesial. Mungkin benar ia biasa, namun dengan biasanya dia, Aku selalu anggap spesial. Jarang ada perempuan lain seperti dia, yang mampu hidup di jaman sekarang ini yang lebih mementingkan bagaimana orang lain melihat kita, dari apa yang kita pakai. Karena definisi cantik bagiku adalah bukan apa yang kita pakai, tapi apa yang kita syukuri.

Badannya ideal dengan tinggi persis setara dengan telingaku. Ia seorang yang pendiam, namun cerewet. Kata beberapa teman kampus, Aku dan Mawar itu pacaran. Tapi sebenarnya bukan pacar, karena diantara kami belum ada yang ngungkapin perasaannya. Teman-teman aja yang bilang kami pacaran. Mungkin karena kedekatan kami, hingga mereka tidak bisa membedakan, mana yang pacaran, mana yang tidak pacaran atau cuma sahabatan. Awalnya kami cuma teman biasa, teman 1 kelompok masa ospek tadinya. Namun entah kenapa setelah dia putus sama pacarnya, tiba-tiba dia mencariku dan menjadi alat untuk penampung ceritanya yang suram itu. Aku juga tidak tahu kenapa dia tiba-tiba mencari dan memilihku sebagai tempat cucuran tangisnya itu. Padahal di kampus-pun aku termasuk anak yang pendiam, tidak terlalu mempunyai banyak teman, justru terlihat cuek.  Berangkat kuliah, ngopi sebat di kantin, masuk, pulang, ngopi sebat di kantin, repeat. Aku pernah sesekali menanyakan tentang mengapa ia lebih memilihku untuk jadi teman curhatnya langsung pada Mawar, ya tentu setelah aku sama dia sudah dekat lumayan lama. Aneh aja gitu, padahal ketika ospek kami selalu  saja bertengkar tentang bumi bulat atau datar.

“Maw, mawar...”

“Ia apa Ram, Rampok”

Yah mungkin ini hal biasa sebagai seorang sahabat yang sudah dekat bahkan sangat dekat. Memanggil dengan sejidatnya sendiri. Tapi kami nyaman dengan panggilan yang kami ciptakan. Rasanya seperti sebuah panggilan sayang khusus. Aku memanggilnya Maw, dia memanggilku Pok. Tapi jika dipikir masih mending panggilan dia daripada aku, masih nyangkut namanya. Sedangkan dia, nama yang bagus Rama malah di plesetin jadi Rampok. 

“Kenapa pas kamu putus dulu, kamu tiba-tiba dateng ke aku?”

“Gatau...”

“Udah gitu ajah?”

“Iya, udah gitu ajah?”

“Yaudah”

“Yaudah juga”

Begitulah. Terkadang kami hanya bisa saling menanyakan. Tanpa ada jawaban yang pasti. Karena jawaban-jawaban terkadang sulit untuk dikatakan diantara kami masing-masing, terkadang justru canda tawa kami adalah jawaban yang tanpa butuh pertanyaan manapun.

Mawar termasuk orang yang cuek dengan siapapun. Tapi perhatian dia sangat besar dan begitu hebat kepada teman-temannya. Dia begitu peduli dengan seseorang yang mengganggap dia adalah temannya. Semoga dia menjadi perempuan yang kuat. Aamiin.

Karena pada dasarnya Mawar ialah perempuan yang lemah, bahkan sangat lemah. Dia selalu mudah untuk menangis daripada harus cerita atau meluapkannya dengan sesuatu. Terkadang saat aku bersamanya, aku selalu membawa kantong kresek yang aku selipkan di saku jaket.

 

***


Entah mengapa tiba-tiba saja Mawar menginginkan edelweis. Aku tidak tau kenapa tiba-tiba dia meminta hal yang seperti itu. Mungkin dia sedang membaca buku kesukaannya di perpustakaan tentang bunga-bunga. Mawar memang sangat suka sekali bunga. Tengok saja ke kamarnya, dinding yang penuh dengan wallpapers bunga. Atau ornamen tempat tidur seperti sprei, bantal, guling semua berbau bunga. Atau bahkan PC dan LCD monitornya yang penuh bunga-bunga. Dia pun pernah berbicara padaku,

“Pok, kamu tau nggak bunga yang aku sukai”

“Gatau... Emang apa?”

“Bunga bank”

“Udah?”

“Udah...”

“Yaudah”

Mawar adalah pembaca akut, dia senang membaca—dimanapun. Apalagi di kampus, ia selalu menyempatkan diri ke perpustakaan untuk sekedar menjenguk atau mengelilingi ruangan perpustakaan kampus. Namun tidak lupa untuk menyempatkan diri memilih buku dan mencari kursi kosong lalu membacanya. Walau cuma sebentar.

Mungkin bagi dia buku ialah nafas. “Aku tidak bisa hidup tanpa buku” katanya. Mungkin dia mengganggap buku seperti Aku yang mengganggap kopi. Ya, kami sudah memiliki jodoh masing-masing. Jodoh paling setia bersama benda-benda tak bernyawa ini contohnya. Dia suka buku, aku suka kopi. Tapi ini bukan tentang buku atau kopi kesukaan kami masing-masing. Ini tentang Mawar, ya tentang edelweis. Bunga yang sedang ia inginkan. Dan tentang keinginannya mengenai edelweis itu yang masih belum bisa aku terima secara sukarela.

Bermula dari jam pulang sekolah kami. Tidak, maksudku pulang kuliah kami. Seperti biasa, Mawar selalu menyempatkan diri berkunjung ke perpustakaan, sedang aku menyempatkan diri menemui ibu kantin, tidak lain tidak bukan, memintanya membuatkanku secangkir kopi. Mawar selalu bisa membaca buku apa saja. Aku selalu saja bisa meminum kopi apa saja. Entah siapa yang menghubung-hubungkannya. Tapi kami memang begitu; sama-sama menyukai tentang hal-hal yang masih berhubungan dengan hal yang kami sukai.

Dengan kopi yang masih panas, seperti biasa aku nyalakan rokok keteng alias rokok eceran. “Satu batang dulu, ah” sambil menunggu Andi dan Yuza keluar dari kelasnya. Kata mereka, ada dosen baru yang montok tapi cantik. Bentar, montok tapi cantik? Kok agak janggal ya.

Rokok di tangan kiriku sudah mau habis, Rokok yang kusisipkan di atas telinga kanan dan kiri juga sudah tersulut api, tinggal kopi yang kusisakan ampasnya menunggu kedatangan mereka berdua. Andi dan Yuza datang mengagetkanku dari belakang. Dengan membawa secangkir kopi yang sudah dipesannya pada ibu kantin di tangan mereka masing-masing.

“Woy, ngalamun aja” kata Andi. 

"Nih kopi, sana pesen sendiri!" tambah Yuza.

Kami saling memanggil Mblo bukan karena kami bertiga jomblo, tapi karena kami bertiga memang belum punya pasangan.

Lima menit, sepuluh menit dan beberapa menit kemudian. Kami bertiga masih membakar rokok untuk episode-episode selanjutnya dan menghabiskan cangkir kopi kami masing-masing. 

"Bu, ini cangkirnya bocor ya? Kok kopinya udah nggak ada?" ledek Yuza kepada Ibu kantin.

"Oia yah, yasudah Ibu bikinkan lagi yah, buat disiram ke muka kalian!"

Hingga tiba-tiba Mawar datang. Menepuk pundakku dari belakang. Aku juga tidak tau, kenapa dengan kata ‘tiba-tiba dan Mawar’? Mereka selalu saja tidak dapat dipisahkan.

“Pok,  bisa ngomong sebentar?” Mawar membawaku ke sudut lain kantin. Mawar memang tidak terlalu dekat dengan Andi dan Yuza, karena mereka berdua sedang merokok. Aku tau Mawar tidak suka cowok perokok, Aku juga tidak suka dengan cowok perokok. Walau Mawar tau aku juga perokok, tapi setidaknya Aku nggak pernah ngeledekin Ibu kantin. 

Mawar menganggapku sebagai satu-satunya teman dekatnya di kampus. Karena tidak ada orang lain yang menganggap mawar seperti Aku, katanya. Akupun, Mawar sudah aku anggap sebagai sahabat. Seperti Andi dan Yuda. Cuma beda kapasitas dalam masalah gender. Kami saling terbuka, namun tidak semua hal kami saling buka. Karena kita sama-sama tau komposisi apa saja yang memang pantas kami ceritakan atau kami simpan sendiri.

“Iya ada apa Maw? Ada yang penting?”

“Untuk masalah penting atau nggak pentingnya. Kamu yang nentuin”

“Ia apa Maw?”

“Aku pengen edelweis Pok...”

 

***


“Ok sudah siap semua Mblo... Cek-cek perlengkapan semua. Handphone kalo bisa ditinggal atau dititipin ke penjaga pos. Atau kalau memaksa untuk dibawa. Dimatiin aja. Karena sehabis melewati desa ini sinyal sudah tidak ada” Andi memerintahkan. Dia pemandu jalan dalam pendakian ini

“Mblo, nggak pengen pamitan dulu sama Mawar?” Rayu Yuza kepadaku.

“Nggak ah, lagian ini kejutan”

“Ya paling nggak kan minta doanya biar selamet. Telpon gih, mumpung masih ada sinyal disini. Ntar kalo ada apa-apa di jalan, dan kamu belum sempet pamitan sama Mawar gimana”

“Astagfirullah jelek amat doanya, tapi bener juga ya...”

Rama menunda keberangkatan. Dengan kembali membongkar tas carriernya itu. Karena handphone yang dibawanya disimpan di tengah-tengah. Bermaksud untuk melindunginya dari udara Gunung Slamet yang semakin tinggi, semakin dingin.

Tuuuut...tuuuut...tuuuut...

“Assalamualaikum”

“Wangalaikumsalam”

“Ia pok, ada apa”

“Aku minta doanya ya? Biar selamat sampai puncak”

“Puncak?”

“Astagfirullah, keceplosan... Maaf Maw” polos Rama

“Kamu emang lagi dimana? Suara kamu kok putus-putus? Jauh lagi...”

“Aku lagi di Bambangan, sebentar lagi mau berangkat mendaki ke puncak. Mau metik edelweis buat kamu Maw. Walau aku tau itu dilarang bagi para pecinta alam. Doain aku samp...”

Tiba-tiba percakapan telepon mereka mulai terputus. Mawar hanya mendengar penjelasan dari Rama, tapi Rama belum mendengar penjelasan dari Mawar

“Anjrit, udah keceplosan mau naik gunung. Eh ini handphone juga keceplosan baterainya abis. Semoga aja mawar nyertain aku dalam doanya ya mblo” Andi dan Yuza hanya mengangguk mengiyakan. “Yaudah ayok berangkat... Semoga perjalanan kita selamat sampai tujuan. Nggak ada halangan apapun. Dan pulang dengan selamat, sehat wal afiat”. “aamiin” mereka seraya saling mengaamiin-i


“Astagfirullah pok. Aku nggak pernah minta kamu untuk pergi ke gunung dan metikin bunga edelweis cuma buat Aku. Kamu belum ngerti. Waktu itu aku memang membaca buku tentang bunga edelweis. Tapi aku tidak ingin kamu petikin untuk Aku. Aku hanya ingin kamu menjadi edelweis di hidup Aku. Bodoh dan malunya aku aja yang bingung gimana cara ngungkapinnya ke kamu. Aku terlalu gengsi untuk ngungkapin yang sebenarnya. Mungkin karena aku seorang wanita” Mawar hanya menangis. Mengajak berbicara dirinya sendiri di depan cermin. Telepon genggamnya tak berdering lagi—bahkan sampai satu hari berikutnya. Setelah berita di televisi memberitakan tentang 3 orang  pendaki yang hilang.

Share:

Friday, September 6, 2013

aku ingin menjadi penyair

aku ingin menjadi penyair
bukan penyihir
yang membuatmu jatuh cinta kepadaku
dengan hanya sebuah mantra

aku ingin menjadi penyair
bukan penyinyir
atau pula wartawan
yang menanyakan apa saja (tentangmu)
untuk di cari tau

aku ingin menjadi penyair, seperti ibu
yang selalu bisa membuat senyum di hidup anak-anaknya

aku hanya ingin menjadi penyair
seseorang yang kau sukai puisinya
Share:

ke arah langit

kesanalah, ke arah langit biru
tidak seperti arah
yang di tunjukkan penunjuk jalan
yang di buat pemerintah

-tuhan menunjukan jalan pulang

bahkan sebelum selesai
koper dikencangkan resletingnya
ban motor yang masih gembes
juga tangan kanan ibu yang belum sempat aku cium

-tuhan telah menunjukan jalan pulang
Share:

Thursday, September 5, 2013

kepada siapa malam sampai

lampu jalan berjejeran
jalan raya adalah sebuah karpet merah panjang
kepada siapa malam ini sampai
sebelum usai, subuh nanti

kepada siapa nyala-nyala lampu
kepada seorang pemancing yang menunggu umpan
dimakan ikan, di atas jembatan?
kepada seorang pelacur yang menghisap rokok berikutnya
dengan cemas sambil menunggu pelanggan?

kita berjalan
kita di sepanjang jalan ini
(di sebuah perjalanan)

betapa aku terlalu mengharapkanmu
hingga aku ingin kita mati sama-sama
hingga aku dan senjata kita
akan menceritakan yang sebenarnya

aku tak mau mencintaimu!
aku tak mau mencintaimu!
aku tak mau mencintaimu, di dunia saja...

kepada siapa malam ini sampai?
Share:

Biografi

M.L.A. Mistam Lahir Duapuluh sekian tahun yang lalu. Belajar menulis puisi dan cerita pendek dari tahun 2010. Saat ini sedang menggemari membaca cerita dan menonton DVD. Buku-bukunya yang telah terbit “Yang Kucintai Selain Puisi (2013)”, “Aku Selalu Bisa Pulang (2014)”, “Apabila Denganmu (2015)", “Lelaki Pejuang Kuota (2016)", “Karena Di Dalam Lubuk Hatiku (2017)". Beberapa puisi dan cerpennya pernah diikutkan dalam beberapa buku “Sepasang Sayap yang Menerbangkan Ingatan (2012)”, “Antologi @puisi__cinta (2013)”, “Laut (2013)”, “Kepak Sayap-sayap (2014)” Sampai saat ini masih aktif membaca dan menulis bersama komunitas Banyuasin. Di blognya mohamadlatif.com ia masih suka menularkan rasa keegoisannya. Saat ini sedang sibuk mengerjakan sebuah buku terbarunya.

Hosting Unlimited Indonesia